(Artikel ke-1.256)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kemajuan manusia, masyarakat, bangsa dan negara saat ini begitu didominasi dengan indikator-indikator ekonomi. Bahkan, dalam dunia pendidikan pun, aspek materi dijadikan sebagai tolok ukur utama dalam mengukur gengsi atau “nilai” suatu program pembelajaran atau program studi di Perguruan Tinggi. Akibatnya, aspek “iman dan akhlak” tidak dijadikan sebagai indikator utama penilaian kemajuan.
Sebagai contoh, keberhasilan pembangunan kepala daerah, terutama dilihat pada aspek ekonomi; bukan pada aspek iman, taqwa, atau akhlak mulia. Padahal, sepatutnya, aspek pembangunan jiwa lebih diutamakan. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Ketika seorang kepala daerah memulai pemerintahannya, sepatutnya dilakukan survei – misalnya – berapa persentase partisipasi shalat subuh berjamaah di masjid dari masyarakatnya. Setiap tahun, angka itu dievaluasi, apakah ada kenaikan atau penurunan. Begitu juga perlu diukur indeks kejujuran, kepedulian pada kebersihan dan jiwa tolong-menolong masyarakat.
Sebab, iman taqwa dan akhlak mulia itu menentukan kemajuan masyarakat. Indikator utamanya adalah keberkahan dari Allah SWT. “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96).
Al-Quran pun menggabarkan jika masyarakat sudah tidak peduli dengan berbagai tindakan kemaksiatan, maka Allah berhak menurunkan azab-Nya. ”Maka apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).
”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’:16)
Ayat-ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal: (1) sikap kaum yang melupakan peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa diri dan hidupnya dihabiskan untuk sekedar mencari kesenangan demi kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24. (2) tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT dan membuat kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu peradaban sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup mewah, atau sesiapa saja yang bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban itu sudah dekat.
Akan tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman kepada Allah SWT sudah rusak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT. Rasulullah saw berkata:
“Apabila perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabrani dan al-Hakim).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/jangan-biarkan-hegemoni-peradaban-materialisme