Artikel Terbaru ke-2.065
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ada seorang pengurus Yayasan Pendidikan Islam pernah bertanya: mengapa anak-anak yang kita didik bertahun-tahun di lembaga pendidikan Islam, setelah lulus justru menjadi pendukung calon kepala daerah yang jauh dari kriteria ideal secara Islami?
Ketika itu, saya menjawab, cobalah kita renungkan, apakah kita sudah mendidik mereka sesuai dengan standar pendidikan Islam, sebagaimana disebutkan dalam QS Luqman ayat 17? Makna ayat ini patut kita renungkan bersama: “Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan.”
Jadi, sangatlah jelas bahwa salah satu tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan insan-insan penegak shalat dan sekaligus pejuang penegak kebenaran dan pencegah kemunkaran. Aktivitas amar makruf nahi munkar merupakan pilar tegaknya masyarakat. Jika aktivitas ini melemah atau hilang, maka hancurlah masyarakat. Dan itulah memang tugas penting para Nabi yang wajib dilanjutkan oleh umat mereka.
Jika mental pejuang itu tidak terbentuk pada diri para pelajar, santri, atau mahasiswa, maka akan hilang pula idealisme perjuangan menegakkan kebenaran. Muncullah generasi sekuleris, pragmatis, individualis, yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri; tidak peduli pada kondisi masyarakat dan bangsanya.
Generasi seperti ini sulit diharapkan akan memiliki kepedulian kepada cita-cita mulia agama, bangsa dan negaranya. Atau, bisa saja ia tidak memahami konsep politik Islam yang ideal. Ia terjebak dalam alam pikiran sekuler yang tidak peduli akan aspek keimanan dan akhlak mulia. Ia hanya berpikir, bahwa manusia itu yang penting bisa makan dan senang-senang.
Bisa saja para pelajar atau santri itu mendapat pendidikan kewarganegaraan yang memisahkan aspek Islam dengan Pancasila. Seolah-olah Islam itu bertentangan dengan Pancasila. Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), pada bab “Sejarah Perumusan Pancasila”.
Disebutkan dalam buku itu, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan. Buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila.
Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/inilah-hubungan-antara-pilkada-dan-pendidikan