Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejarah peradaban Barat dibagi menjadi tiga periode: (1) periode klasik/awal sejarah Sejarah, terjadi sejak kemunculan peradaban Yunani sampai runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, sekitar tahun 372 M. (2) Zaman pertengahan dimulai dari akhir masa Romawi Barat sampai awal munculnya renaissance pada awal abad ke-14, dan (3) zaman modern Eropa.
Apakah yang disebut “modern”? Lawrence E. Cahoone, dalam buku The Dilemma of Modernity, (New York: State University of New York Press, 1988), menulis, bahwa: “The concept of modernity, makes sense if we accept the notion that diverse sectors of modern culture and social life exhibit or have exhibited a common pattern or tendency: that, for example, the technological mastery of nature, democracy, the supremacy of the nation state, modern science, secularism, and humanism.”.
Max Weber, pakar sosiologi terkenal di Barat mencatat bahwa: “the key development of the modern West, is “rationalization”. (Cahoone, Ibid). Dalam berbagai aspek dan nilainya, modernitas telah memunculkan tantangan besar terhadap agama-agama. Alain Touraine menyimpulkan: “The idea of modernity makes science, rather than God, central to society and at best relegates religious beliefs to the inner realm of private life.” (Alain Touraine, Critique of Modernity, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1995), 9.)
Dunia modern adalah dunia yang mementingkan dunia (saeculum). Orang modern menjadikan manusia sebagai ”penentu” bagi kehidupan mereka. Nilai-nilai yang dijadikan pedoman bukan lagi nilai agama. Masyarakat Barat modern mengubah cara pandang ”teosentrisme” (berpusat pada Tuhan) menjadi ”anthroposentrisme” (berpusat pada manusia.
Jika dulunya, di zaman Pertengahan, semuanya memperhitungkan aspek agama dan Gereja, maka di zaman modern, mereka telah menjadi sekular dan liberal, yakni manusialah yang menentukan baik-buruk, benar-salahnya suatu tindakan; bukan lagi nilai-nilai agama.
Dalam politik, misalnya, lahirlah Machiavelli yang mengatakan bahwa politik adalah semata-mata seni meraih atau mempertahankan kekuasaan, dan tidak ada hubungannya dengan agama atau moralitas. Dalam ekonomi, yang terpenting adalah bagaimana menampilkan keindahan. Seni untuk seni (l’art pour l’art). Seni tidak boleh dikaitkan dengan agama, sebab hal itu akan membelenggu kesenian itu sendiri. Dalam sains, manusia juga menolak ”keterlibatan agama”. Inilah zaman modern, zaman berkembangnya sekularisme, liberalisme, humanisme; dimana Tuhan dijadikan manusia dan manusia dituhankan.
Karena itu, tidaklah keliru jika dikatakan, bahwa inti semangat ”modernitas” adalah semangat menolak agama dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat Barat modern merasa, bahwa selama mereka dikuasai oleh agama, ternyata mereka tidak dapat maju, sehingga agama harus ditolak atau dijadikan masalah pribadi.
Seorang cendekiawan Yahudi bernama Leopold Weiss – yang kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Asad – menulis dalam bukunya, Islam at the Crossroads, bahwa saripati peradaban Barat modern itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’. (… so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence). (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press).
Lanjut baca,