JANGAN TANAM DENGKI, DIRI SENDIRI YANG RUGI

JANGAN TANAM DENGKI, DIRI SENDIRI YANG RUGI

 

Oleh: Fatih Madini

(Mahasiswa STID Mohammad Natsir)

 

Raja Ali Haji menulis dalam Gurindam 12, pasal 4: “Apabila dengki sudah bertanah, datang daripadanya beberapa anak panah.”

*****

Dari sekian banyaknya penyakit hati, dengki menjadi salah satu penyakit yang menjadi sorotan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali. Beliau berpegang pada hadits Nabi: “Jauhkan olehmu akan dengki (hasad), karena sesungguhnya dengki itu memakan semua kebaikan, sebagaimana api melahap habis kayu bakar.”

Itulah alasan beliau sangat berhati-hati dengan satu penyakit ini. Karena pada hakikatnya hampir pasti semua hati manusia terendap penyakit ini. Beliau juga berpendapat bahwa setiap penyakit hati, lebih sulit untuk disembuhkan dibanding dengan penyakit fisik. Menurut al-Ghazali, penyakit ini tidak zahir, sehingga butuh usaha keras untuk menghilangkannya.

            Dengki secara istilah adalah salah satu penyakit hati dimana ia senang melihat orang susah tapi susah melihat orang lain senang. Dalam artian ia tidak ridha dan merasa keberatan ketika saudaranya mendapat banyak atau bahkan satu saja kenikmatan dari Allah. Tapi ketika keadaan itu berbalik pada dirinya, diapun merasa sangat puas.

Kata Imam al-Ghazali: “Orang yang hasad itu adalah yang merasa keberatan dengan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada satu hamba dari sekian banyak hamba-hamba-Nya. Yaitu ketika si hamba mendapat pemberian ilmu, harta, kecintaan di hati orang lain, atau satu bagian dari sekian banyaknya bagian-bagian. Dia akan merasa gembira, ketika semua kenikmatan itu hilang dari diri orang itu, sekalipun dia tidak mendapatkan sedikit pun dari nikmat-nikmat itu. Maka inilah puncaknya keburukan,” (Imam Ghazali, Bidayatul Hidayah)

            Pada akhirnya, hasad ini akan berujung juga pada bakhil. Karena dia tidak mau melihat orang mendapat nikmat, maka dia akan sulit mengeluarkan kenikmatan yang ada pada dirinya ketika ada orang yang membutuhkan.

Maka, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hasad adalah salah satu cabang dari ‘syuh’. Dimana ‘syuh’ ini lebih parah dari bakhil. Kalau bakhil hanya dirinya yang tidak mau memberikan, sementara syuh, bukan hanya dirinya tapi juga orang lain. Jadi dia juga menghalangi orang lain untuk memberikan kenikmatannya pada orang selain dia.

            Oleh karena itu dalam satu Perkataan Arab dikatakan, “al-hasud laa yasud” (pendengki itu tidak akan mulia). Jelas, ia bukan orang mulia, selama dia masih saja tidak suka, tidak bisa berlapang dada dengan kesenangan orang lain ketika nikmat menghampiri diri orang itu. Lebih-lebih lagi ketika dia hendak menghilangkannya dengan cara apa pun. Seolah-olah dia berpegang teguh pada prinsipnya, “Bagaimanapun juga nih orang gak boleh seneng, pokoknya dia harus susah”.

            Tapi,  kita patut kasihan dengan pendengki ini. Selain kehilangan seluruh amal-amalnya, dia juga akan merasakan kesengsaraan tidak hanya di akhirat,  tapi juga di dunia. Karena dunia ini akan terus diisi dengan keturunan Adam (sampai waktu yang ditentukan), sehingga pastilah tidak mungkin dari mereka tidak mendapatkan kenikmatan-kenikmatan. Maka, hatinya pun tidak akan pernah merasa tenang ketika “di sana-sini” dia melihat orang yang bahagia.

            Salah seorang pelawak terkenal beraliran “Stand up Comedy”, pernah berkata ketika sedang tampil, “Tempat liburan orang dengki itu gampang, tidak usah dibawa ke tempat-tempat yang mewah, cukup bawa dia ke tempat orang-orang miskin, pasti hatinya seneng.”

            Jadi sudah sepatutnya sebagai muslim yang baik kita harus belajar bagaimana berlapang dada, bukan seharusnya menjadi orang yang egois. Dalam artian hanya kita saja yang boleh merasakan kenikmatan, sementara orang lain tidak boleh. Memang apa salahnya, setiap orang punya hak untuk merasa bahagia.

Maka ketika kita dengki, sesungguhnya kita telah berusaha mengambil hak orang itu. Muslim dengan muslim lainnya adalah seperti satu bangunan, yang selalu saling menguatkan, dan seperti satu tubuh, dimana ketika yang satu merasa sakit, yang lain pun merasakan sakit. Begitupula sebaliknya. Muslim itu bukanlah orang yang ketika ada saudaranya yang sakit, dia malah senang, dan ketika ada yang senang dia malah merasa sakit (resah).

Jadi, patutlah direnungkan hadits Nabi saw yang menyatakan, bahwa dengki itu memakan amal, laksana api yang memakan kayu bakar. Orang yang dibakar api kedengkian sesungguhnya membakar dirinya sendiri. Jika penyakit ini tidak disembuhkan, maka lama-lama akan memakan iman juga. Sebab, ia tidak lagi meyakini bahwa Allah sesungguhnya yang Maha Adil dan Bijaksana dalam membagi-bagikan kenikmatan kepada para hamba-Nya.

Jika seorang yakin dengan kehidupan akhirat, maka ia tidak perlu terjangkit kedengkian. Sebab, semakin banyak nikmat Allah yang diterima, akan semakin berat pula pertanggungjawabannya di akhirat. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 31 Mei 2022).

                       

           

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait