KE MALAYSIA LAGI, SETELAH DUA TAHUN PANDEMI

KE MALAYSIA LAGI, SETELAH DUA TAHUN PANDEMI

 Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Ini sebuah catatan perjalanan. Rabu (1 Juni 2022), malam, adalah kali pertama, saya menginjakkan kaki di Kuala Lumpur, sejak bulan Februari 2020. Ini juga perjalanan ke luar negeri yang pertama, sejak merebaknya pandemi Covid-19. Alhamdulillah.

Pesawat mendarat di bandara KLIA-2, pukul 21.45 waktu Kuala Lumpur/KL (satu jam lebih cepat dari WIB). Suasana bandara masih cukup sepi. Petugas imigrasi, seorang yang berjilbab, bertanya, “Nak buat apa di sini.” Saya kata sama dia, “Nak jalan-jalan makam tom yum. Sudah dua tahun saya tidak kesini. Rindu makan tom yum.”

Saya bercanda, meskipun benar, sesampai di kawasan Kampung Baru, malam itu, saya langsung mencari Kedai Makan Tom Yum. Alhamdulillah, masih ada yang buka, meskipun sudah pukul 23.30 WKL. Petugas imigrasi itu juga berkata, bahwa selama dua tahun, ia pun tidak bepergian ke luar negeri.

Situasi di Malaysia seperti sudah mulai kembali normal. Masuk ke Malaysia tidak disyaratkan untuk tes Covid-19. Tetapi disyaratkan sudah vaksin tiga kali. Di Imigrasi ditanya isian aplikasi mysejahtera. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Penggunaan masker di tempat umum tidak ketat. Ada yang pakai, ada yang tidak pakai. Jamaah subuh Masjid Kampung Baru pagi ini sudah rapat shaf-nya. Sebagian mengenakan masker. Dzikir pagi masih sangat panjang, karena disertai membaca Surat Yasin.

Di bandara, saya membeli makanan kecil. Juga air mineral 600 ml, seharga RM 2 (sekitar Rp 8 ribu). Di bandara Soekarno-Hatta, saya beli air mineral dengan ukuran yang sama, harganya Rp 15 ribu. Harga Tom Yum di Kedai daerah Kampung Baru tampaknya sudah naik. Tom Yum ayam semangkok harganya RM 7,5. Seingat saya, dua tahun lalu, masih di kisaran harga RM 5 atau RM 6.

Beberapa hari lalu, saya diundang seorang teman, di sebuah restoran Melayu di Jakarta. Harga Tom Yum di situ hampir tiga kali lipat di KL. Soal rasa tentu saja itu selera masing-masing. Di Malaysia, pemerintah memang mengawal harga-harga makanan di warung-warung. Hal seperti ini sangat baik untuk kenyamanan turis-turis asing.

Di bandara KLIA-2, saya dijemput oleh seorang mahasiswa S2 program studi Comparative Religion di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ia alumnus pesantren Gontor Ponorogo. Jenjang S-1nya, ia selesaikan dalam bidang Aqidah-Filsafat di International Islamic University Islamabad Pakistan.

Sepanjang perjalanan dari KLIA-2 ke kawasan Kampung Baru, saya bertanya tentang kondisi perkuliahan di Malaysia. Tentang biaya kuliah, misalnya. Di bulan Syawal lalu, saya kedatangan tamu seorang guru besar yang anaknya sedang kuliah tingkat S-1 bidang Teknologi Pangan di satu Universitas di Malaysia.

Katanya, SPP kuliah anaknya itu mencapai Rp 29 juta per semester. Sementara itu, kata mahasiswa S2 tadi, biaya kuliah yang harus ia bayar sekitar Rp 13 juta per semester untuk empat mata kuliah. Ia sudah kuliah sejak 2018. Mungkin itu biaya lama. Soal biaya kuliah inilah yang banyak ditanyakan orang seputar pendidikan di Malaysia.

Yang juga sering ditanyakan kepada saya adalah, apakah benar bahwa pendidikan di Malaysia lebih baik daripada di Indonesia. Menurut saya, itu tidak berlaku semuanya. Ada beberapa universitas di Malaysia yang memang memiliki aspek profesionalitas yang tinggi, karena dosen-dosennya biasanya mendapatkan gaji yang cukup tinggi dan berkonsentrasi pada tugas mengajar di kampusnya. Juga, sarana pendidikan – terutama perpustakaan -- yang cukup memadai di beberapa universitas.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/ke-malaysia-lagi,-setelah-dua-tahun-pandemi

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait