Artikel Terbaru (ke-1.657)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Penduduk Kampung Tua Rempang dipaksa untuk menerima logika bahwa mereka akan semakin sejahtera jika mau pindah. Mereka akan menerima rumah tipe 45 dengan luas tanah 500 meter2, bersertifikat. Tapi rumah itu belum ada, alias baru rencana. Sementara ini mereka harus ngontrak dulu, dan diberikan ongkos ngontrak rumah, beserta uang bulanan sekitar Rp 1,2 juta.
Berpuluh video dan berita-berita media online serta televisi yang saya cermati memperlihatkan masyarakat yang menolak keras tawaran itu. Mereka tetap menolak pindah, meskipun kondisi mereka semakin terjepit. Dialog dengan pejabat pusat dan daerah belum mencapai titik kesepakatan.
Logika masyarakat Rempang sangat mudah dipahami. Apa salah mereka, sehingga mereka dipaksa pindah. Yang lebih menyakitkan, keberadaan mereka yang sudah ratusan tahun tidak diakui sebagai pemilik sah lahan itu.
Padahal, kini beredar luas video Presiden Joko Widodo yang menjanjikan akan menerbitkan sertifikat tanah untuk penduduk Kampung Tua, dalam tempo selanbat-lambatnya tiga bulan. Tapi, itu pidato kampanye Pilpres tahun 2019. Entahlah sekarang, apakah janji itu masih berlaku.
Mungkin tawaran investasi asing yang menggiurkan “terpaksa” harus dituruti, sehingga kawasan Rempang harus dikosongkan dari penduduk, demi permintaan investor. Banyak sekali ulama, tokoh masyarakat, Ormas Islam, LSM, dan para cendekiawan kampus yang sudah bersuara, agar pemeritah menunda bahkan menghentikan proyek pembangunan yang dijanjikan akan menyedot 30 ribu tenaga kerja itu.
Sebenarnya, pemerintah telah menjadi korban dari konsep pembangunan yang terlalu memuja angka-angka pertumbuhan ekonomi. Bahwa, kemajuan suatu negara semata-mata diukur dari angka pertumbuhan ekonomi. Proyek-proyek industri dibangun untuk mengejar angka-angka itu, meskipun seringkali harus mengorbankan penduduk asli yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun menghuni kawasan pembangunan tersebut.
Masalahnya, kinerja pemerintah pusat dan daerah juga akan dinilai kesuksesannya berdasarkan angka-angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Konsep pembangunan yang terlalu mendewakan angka-angka ini telah menyeret konflik antar sesama warga bangsa. Sungguh memilukan apa yang terjadi di lapangan. Aparat dan masyarakat dipaksa untuk berbenturan sampai berdarah-darah.
Konsep pembangunan yang terlalu metarialistis seperti itulah yang perlu ditinjau kembali. Bahkan, PBB pun sudah belasan tahun mengadopsi kriteria “kebahagiaan” (happiness), untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Tetapi, sayangnya, tahun 2023 ini, untuk kriteria negara bahagia ini saja, Indonesia masih berada di ranking ke-84. Padahal, salah satu indikator negara bahagia adalah tingkat kejujuran.
Padahal, sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sepatutnya Indonesia memiliki konsep pembangunan tersendiri. Tentu saja, konsep-konsep pembangunan itu tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bukunya, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), Mohammad Hatta (Bung Hatta) menjelaskan: “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat.”
Selanjutnya, Bung Hatta menegaskan: “Sebab, apa artinya pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih sayang serta adil?”
Lanjut baca,
KITA PERLU KONSEP PEMBANGUNAN UNTUK KEBAHAGIAAN INSAN (adianhusaini.id)