MENDUDUKKAN AKAL PADA TEMPATNYA

MENDUDUKKAN AKAL PADA TEMPATNYA

Artikel ke-1.452

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Saat masih duduk di bangku SMA (1981-1984), saya senang dengan pelajaran Fisika. Sempat pula, saya diterima kuliah di Pendidikan Ilmu Fisika di satu Perguruan Tinggi Negeri. Tapi, kemudian saya memilih IPB, setelah melalui proses istikharah yang panjang.

Ketika di SMA itu, saya tinggal di pesantren Ar-Rosyid Kendal Bojonegoro. Disamping mengaji berbagai “kitab kuning”, saya juga membaca sejumlah buku, seperti Tasauf Modern (Hamka), Iman Jalan Menuju Sukses (KH Najih Ahjat), Biologi Iman, Filsafat Ontologi dalam Islam, dan sebagainya.

Salah satu buku yang menarik ketika itu berjudul: “Al-Quran Dasar Tanya Jawab Ilmiah”.  Buku ini, antara lain menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, berdasarkan ilmu fisika dan astronomi. Saat itu saya merasa tercerahkan. Bahwa, peristiwa Isra’ Mi’raj, bisa dijelaskan secara “ilmiah”, dengan bukti empiris dan rasional.

Tapi, akhirnya, saya menyadari, bahwa upaya pembuktian secara empiris-rasional tidak selalu tepat, dan ilmiah. Tidak semua realitas alam dapat dijelaskan secara empiris dan aqli. Misal, bagaimana menjelaskan asal-usul tulang belulang pada bayi manusia; bagaimana menjelaskan asal-muasal batang, daun, bunga, buah, dari tanaman dalam pot. Manusia tidak akan mampu memahaminya, apalagi membuat sesuatu dari tidak ada menjadi ada.

Jadi, dalam hal yang sehari-hari kita lihat saja, kita tidak mampu menjelaskan, maka tidak aneh, jika proses peristiwa Isra’ Mi’raj pun tak mampu kita pahami, secara rasional. Tetapi, peristiwa Isra’ Mi’raj itu benar adanya, berdasarkan sumber ilmu yang pasti, yaitu khabar shadiq.

Seperti halnya Allah menumbuhkan tunas, batang, ranting, daun, dan bunga, maka seperti itu pula Allah akan menghidupkan orang mati pada Hari Kebangkitan nanti. Akal manusia memiliki keterbatasan. Sama seperti pancaindera kita pun terbatas kemampuannya.

Jika ada yang mau sok rasional atas segala sesuatu, renungkanlah kisah berikut ini. Syahdan, dulu ada seorang ilmuwan terkenal dan sangat rasional serta “Western oriented” dalam berbagai karyanya. Dia hanya mau menerima hal-hal yang empiris dan rasional.

Suatu ketika, sang ilmuwan ini akan pulang kampong dan menaiki Kapal Laut. Maka, teman sedaerahnya, yang juga seorang cendekiawan mengingatkan dia: “Jika kamu rasional, harusnya kamu tidak naik kapal, tetapi berenang. Sebab, ketika naik kapal, kamu sudah tidak rasional, karena kamu percaya saja kepada nakhoda atau petugas kapal yang kamu tidak kenal sama mereka! Kamu juga tidak apa-apa tentang kondisi kapal ini. Kamu percaya saja! Dan tidak rasional.”

            Begitulah tatkala kita menaiki pesawat terbang, kita dipaksa menjadi tidak rasional dan tidak kritis.Saat diumumkan, bahwa pesawat ini akan menuju suatu kota dengan ketinggian sekian, dengan pilot Si Fulan, maka kita pun percaya begitu saja! Padahal, kita tidak kenal sama sekali dengan para awak pesawat, tidak mengecek langsung, apakah si pilot benar-benar pilot atau pelawak.

            Itulah anehnya manusia. Kadangkala, mereka percaya kepada dukun yang jelas-jelas mengaku bodho dan gendheng, percaya kepada ilmuwan fosil yang belum tentu jujur, percaya kepada pramugari pesawat yang sama sekali tidak dikenalnya. Tetapi, ajaibnya, mereka tidak percaya kepada seorang “manusia”  yang kejujurannya diakui oleh kaumnya, diakui oleh kawan maupun lawannya. Bahkan, sejak umur 25 tahun, kaumnya sudah memberinya gelar istimewa “al-Amin”, manusia yang terpercaya.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mendudukkan-akal-pada-tempatnya

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait