Oleh: M. Faris Ranadi
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir)
Banyak cendekia menjadi saksi akan kehebatan dan kecemerlangan dari sang ilmuwan Muslim ini. Pujian banyak-banyak diberikan kepadanya; baik atas karya tulis maupun kisah perjuangannya. Datang pula pujian bukan hanya dari kawan yang sefaham saja, tetapi juga yang berbeda faham. Karena pencapaian yang diraihnya bukan hal yang bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Tokoh ini adalah seorang “singa”; yang teguh pada pendiriannya. Kemudian, sang singa ini telah melahirkan anak-anak singa lagi, dan terus begitu. Karena memang itu visi dari pemikirannya. Tapi, ia tidak asal dalam melahirkan singa. Singa yang dilahirkannya haruslah singa yang dapat teguh pendirian dan kuat ilmunya. Makanya, singa yang dilahirkan olehnya tidak banyak. Tak mengapa. Baginya, satu singa lebih baik dari seratus babi. Karena satu singa bisa memakan seratus babi.
Tokoh yang dimaksud adalah Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam kuliah Dr. Adian Husaini pada hari Jum’at, 27 Maret 2020, ia membahas sosok dan pemikirannya. Kini sosoknya dikenal sebagai pencetus dan pengembang gagasan Ta’dib dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer. Bukan hanya mengagas, tetapi “sang singa” – dibantu muridnya, khususnya Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud -- juga mempraktekkan gagasan mereka dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi yang bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization, atau yang disingkat sebagai ISTAC.
Sedikit tentang Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia lahir di Bogor pada 5 September 1931. Berarti usianya telah mencapai 91 tahun, September 2022 ini. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Syed Ali bin Abdullah bin Muhsin al-Attas dan Sharifah Raquan al-Aydrus. Kakeknya, yakni Abdullah bin Muhsin al-Attas merupakan tokoh terkenal di Indonesia sebagai ‘Habib Keramat Empang Bogor’, yang makamnya sering diziarahi oleh banyak orang. Bahkan, sampai berkunjung pula calon Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 dan kemudian menyusul pula wakilnya pada Pemilu 2019, K.H. Ma’ruf Amin.
Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas dikenal sebagai ulama besar. Itu dapat dilihat dari hasil didikannya, yakni murid-muridnya yang salah satunya adalah Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al-Haddad (Mufti Kerajaan Johor). Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas dikenal pula dengan kisah-kisah ‘kewalian’ dan ‘karamah’. Pernah suatu waktu Habib Keramat ini dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah Hindia Belanda, bahkan sampai dirantai lehernya. Tetapi, menurut cerita yang beredar di masyarakat, kepala sipir penjara tersebut justru terjangkit sebuah penyakit misterius. Atas saran sang Habib, ia bisa sembuh jika lehernya juga dikalungi rantai. Wallahu a’lam.
Berbeda dengan kakeknya yang dikenal luas dengan aneka cerita karamahnya, Syed Muhammad Naquib al-Attas lebih dikenal dengan pemikiran-pemikiran dan kiprah-kiprahnya di dunia pendidikan dan pemikiran Islam. Habib Naquib -- begitu sebutan beberapa orang padanya -- mengawali pendidikan dasarnya di Bogor dan Sukabumi. Usai Perang Dunia II, pada tahun 1946, ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengahnya. Setelah itu, Al-Attas sempat mengenyam pendidikan militer di Royal Militer Academy, Sandhurst, England, dari tahun 1952-1955. Ia tidak melanjutkan karir militernya, karena ia lebih tertarik melanjutkan studinya ke University of Malaya di Singapura.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mengenal-sosok-dan-pemikiran--sang-bapak-singa