Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 8 Oktober 2019, saya memenuhi undangan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjadi pembicara dalam acara peluncuran dan diskusi buku berjudul ‘Moderasi Beragama’ terbitan Kementerian Agama RI (2019). Pembicara lain adalah Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, dan Elga Sarapung, seorang rohaniwan Kristen dan aktivis dialog antar agama. Moderatornya, Ulil Abshar Abdalla.
Buku itu diluncurkan langsung oleh Menteri Agama. Selain meluncurkan dan memberi ceramah pendahuluan, Menteri Agama juga mengikuti diskusi sampai tuntas. Aula HM Rasjidi dipenuhi sekitar 200 undangan, yang terdiri atas para rektor Perguruan Tinggi Agama Islam, Kakanwil Kemenag, perwakilan majelis-majelis agama, dan juga wakil-wakil beberapa lembaga negara.
Dalam buku ini, ‘moderasi beragama’ didefinisikan sebagai berikut: “Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.” (hlm. 7)
Pada bagian lain, disebutkan contoh paham liberal yang menyimpang dari sikap moderasi beragama: “Mereka yang berhenti pada cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara liberal akan cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam menafsirkan ajaran agama, sehingga tercerabut dari teksnya… Pandangan keagamaan sebagian sarjana Muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah misalnya, adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri.” (hlm. 48).
Lanjut baca,