Oleh: Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Sebuah artikel lama di Harian Republika, (22/11/ 2003) berjudul “Tumbuhnya Muslim Demokrat” menyebutkan: “Mayoritas muslim Indonesia, bahkan di kalangan pemilih muslim yang sangat dan cukup religius, yang taat beribadah, mereka adalah pendukung demokrasi. Lima puluh tahun terakhir ini, tumbuh secara signifikan muslim demokrat. Evolusi pemilih muslim Indonesia dapat pula dilihat dari dua titik waktu. Misalnya direntangkan pemilu pertama di tahun 1955 dan sekitar lima puluh tahun kemudian dalam pemilu 2004 nanti. Hasil survei LSI menunjukan terjadinya moderasi dan demokratisasi yang cukup signifikan di kalangan pemilih muslim itu. Di tahun 1955, kita mempunyai empat partai Islam yang memperjuangkan syariat Islam di dunia publik. Partai Masyumi, Partai NU, Perti, dan PSII berjuang untuk sebuah formalitas politik Islam, baik bernama negara Islam ataupun Piagam Jakarta. Jumlah total mereka saat itu diukur dari pemilih sekitar 43 persen.”
Cobalah kita cermati makna moderasi dan demokratisasi di kalangan muslim? Apa yang dimaksud dengan makna “muslim moderat”? Ditulis dalam artikel tersebut: “Lima puluh tahun terakhir ini, tumbuh secara signifikan muslim demokrat.” Indikatornya, penurunan prosentase pemilih Muslim yang mendukung partai-partai Islam. Jadi, muslim disebut moderat jika tidak memilih partai Islam.
Jika cara berpikir itu diikuti, berarti kaum Muslim yang aktif dan atau yang memilih partai-partai Islam pada pemilu 1955 adalah tidak demokratis dan tidak moderat. Apakah benar demikian? Apakah tokoh-tokoh Islam seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, KH Wahid Hasjim, KH Masjkur, Hamka, dan dan sebagainya bukan tokoh-tokoh yang moderat?
Ambillah contoh, Partai Masyumi. Partai ini jelas terlibat dalam proses demokrasi (pemilu) yang sering dipuji sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Masyumi juga mendukung demokrasi. Tetapi, “demokrasi” oleh Masyumi sudah dicoba untuk “diislamisasi”.
Demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan yang tidak fasis dan otoriter. Hal itu bisa dilihat dalam rumusan Rancangan UUD Republik (Islam) Indonesia usulan Masyumi, yang menyatakan, bahwa “kedaulatan adalah di tangan seluruh rakyat Indonesia sebagai amanah Tuhan kepada mereka.” Naskah itu juga menegaskan, syariah sebagai “sumber hukum” tertinggi dalam negara. Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan dengan berpedoman kepada norma-norma syariah dan tidak melampaui batas yang ditetapkan oleh Tuhan.
Konsep Masyumi tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat itu mirip dengan konsep “theo-demokrasi” yang dirumuskan oleh Abul A’la al-Maududi, pemikir besar Pakistan dan pendiri Partai Jamaat Islami. Apakah konsep demokrasi dan kedaulatan rakyat Masyumi itu tidak demokratis?
Konsep Masyumi sangatlah masuk akal. Rakyat memang berdaulat, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh kedaulatan Tuhan; dibatasi oleh syariat Islam. Artinya, kedaulatan rakyat tidak bersifat mutlak. Jika rakyat bersepakat untuk menghalalkan pelacuran, perjudian, korupsi, dan sebagainya, maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Untuk itulah dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/muslim-moderat-tak-menolak-aturan-tuhan