Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Rasulullah saw pernah bersabda: ”Berkata Rasulullah s.a.w.: Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Terhadap hadits tersebut, Buya Hamka menjelaskan dalam Tafsir al-Azhar: ”Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah.”
Dengan penjelasan itu, jelaslah posisi Buya Hamka. Bahwa: jika kaum Yahudi-Nasrani telah menerima berita tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. ”Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah,” tulis Hamka.
Penjelasan Buya Hamka ini sangatlah jelas. Bahwa, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, maka tidak ada nabi lagi yang sah. Disamping itu, beriman kepada Nabi Muhammad saw adalah syarat mutlak bagi seseorang untuk mendapat gelar kehormatan sebagai muslim.
Adalah menarik untuk menelaah penjelasan Buya Hamka tentang QS al-Baqarah:62, yang cukup sering dijadikan landasan seolah-olah al-Quran mengajarkan Pluralisme Agama. Dalam tafsirnya, Buya Hamka menulis tentang hadits Ibn Abi Hatim sebagai berikut:
”Telah meriwayatkan Ibnu Abi Hatim daripada Salman, berkata Salman, bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dari hal pemeluk-pemeluk agama yang telah pernah aku masuki, lalu aku uraikan kepada beliau bagaimana cara sembahyang mereka masing-masing dan cara ibadah mereka masing-masing. Lalu aku minta kepada beliau manakah yang benar. Maka beliau jawablah pertanyaanku itu dengan ayat: Innalladzina amanu wal-ladzina hadu dan seterusnya itu.”
Artinya ialah bahwa perlainan cara sembahyang atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama, karena syariat berubah sebab perubahan zaman. Tetapi manusia tidak boleh membeku disatu tempat, dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati, lalu menyerah kepada Tuhan dengan sebulat hati. Menyerah dengan hati puas. Itulah dia Islam.”
Hamka sangat menekankan bahwa makna ”iman sejati” adalah beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, dan beramal shalih. Jadi, formalitas Islam, atau ”mengaku-aku Islam” saja – tanpa diikuti dengan keyakinan yang mendalam dan amal shalih -- memang tidak menjamin keselamatan di akhirat. Siapa pun akan setuju dengan kesimpulan Hamka ini.
Lanjut baca,