Artikel ke-1.692
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kemuliaan jiwa begitu ditekankan oleh Islam. Tujuannya agar manusia mencapai taraf tinggi sebagai manusia. Juga, agar ia tidak terjebak dalam peradaban yang memuja syahwat dan menuhankan hawa nafsu, sebagaimana dibudayakan oleh paham sekularisme dewasa ini.
Dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001: 202-203), Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menggambarkan perkembangan falsafah Barat yang telah membuang Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan mereka, sehingga mereka menempatkan manusia sebagai Tuhan yang merasa berhak mengatur alam dan dirinya sendiri, tanpa campur tangan siapa pun.
“Perkembangan falsafah Barat berarak lancar mengikut perkembangan sainsnya yang mensekularkan semua. Insan semakin dipandang dari segi keutamaan kemanusiaannya dan kepribadiannya dan kebebasan serta kemerdekaannya sebagai diri haiwani. Jikalau dahulu dia telah menghapuskan pupus para dewata di alam purba dengan serangan akal hayawani sehingga alam itu jadi benda biasa bagi tindakannya leluasa, maka kini dengan bantuan falsafah dan sains sekular dia harus pula mendesakkan diri merebut kebebasan serta kemerdekaannya sekalipun dari Tuhan Sarwa Alam, agar dapat dia benar-benar bebas bertindak terhadap alam yang menghadapinya.”
Peringatan Prof. Naquib al-Attas itu patut kita camkan. Khususnya, para calon pemimpin bangsa yang sedang berjuang untuk menduduki jabatan kursi Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029. Kursi kekuasaan memang sangat menggoda.
Kekuasaan – jika digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan – maka akan membawa kebahagiaan dan keselamatan pagi penguasa di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika penguasanya tidak mampu mengemban amanah dengan baik, maka akan menjadi musibah di dunia dan azab yang pedih di akhirat.
Dalam al-Quran dikisahkan sejumlah penguasa yang zalim dan berujung kepada kehancuran dan kebinasaan diri mereka sendiri. Jika penguasa tidak mampu berlaku adil terhadap Tuhan, terhadap Nabi-nabinya, dan juga terhadap rakyatnya, maka ujung-ujungnya adalah kehancuran. Syahwat kekuasaan kadang menyilaukan mata sehingga berbagai cara digunakan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan.
Menurut Imam al-Ghazali, penguasa yang rusak akan menjadikan rakyatnya rusak pula. Penguasa yang tidak takut kepada Tuhan dan bahkan merasa lebih hebat dari Tuhan maka akan menjadikan dirinya enggan diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Itulah yang diingatkan oleh Prof. Naquib al-Attas dengan paparannya: “… maka kini dengan bantuan falsafah dan sains sekular dia harus pula mendesakkan diri merebut kebebasan serta kemerdekaannya sekalipun dari Tuhan Sarwa Alam, agar dapat dia benar-benar bebas bertindak terhadap alam yang menghadapinya.”
Jika manusia enggan diatur oleh Tuhan, maka ia akan berperilaku layaknya hewan. Al-Quran menggambarkan manusia-manusia yang berinteraksi dengan alam (ayat-ayat Allah), tetapi tidak sampai mengenal Tuhan yang sesungguhnya, maka mereka itu laksana binatang ternak, bahkan lebih sesat dari pada binatang ternak itu sendiri. (QS al-A’raf:179). Juga disebutkan: “Orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan sebagaimana makannya binatang-binatang, dan neraka adalah tempat mereka.” (QS Muhammad:12).
Lanjut baca,
PARA CAPRES, MOHON JANGAN TERJEBAK DALAM SEKULARISME (adianhusaini.id)