Artikel ke-1.695
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Indonesia memang sebuah negeri yang unik. Ada sejumlah paradoks – dua fenomena yang tampak berlawanan – di Indonesia. Negeri ini dianugerahi Allah kekayaan alam yang sangat kaya. Tapi, pada saat yang sama, terlalu banyak rakyatnya yang miskin. Beberapa daerah memiliki sumber minyak melimpah. Tapi, beberapa kali mereka harus antri minyak.
Indonesia juga dikenal sebagai negeri yang religius. Agama dipandang penting dalam sebagian besar kehidupan rakyatnya. Bahkan, ada juga Kementerian Agama. Tapi, anehnya, korupsi masih saja merajalela. Bahkan yang melakukan korupsi tidak sedikit yang sangat memahami agama dan mengurusi masalah agama.
Jumlah umat muslim di Indonesia saat ini sekitar 240 juta jiwa. Ini jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang tinggal di satu negara. Tetapi, nilai-nilai akhlak Islam, seperti kejujuran, cinta ilmu, cinta kebersihan, kedisiplinan, dan sebagainya, masih belum menjadi budaya masyarakat kita.
Lalu, ada yang menyatakan, bahwa negara-negara lain seperti Finlandia, Selandia Baru, dan sebagainya, lebih Islami ketimbang Indonesia. Ada yang mengutip perkataan seorang ulama Mesir, bahwa ia melihat muslim di Arab tetapi tidak melihat Islam, dan justru ia melihat Islam di Eropa yang penduduknya bukan muslm.
Hal-hal paradoks seperti itu juga bisa kita lihat dalam diri pribadi banyak orang muslim. Ia seorang haji, tetapi berprofesi sebagai rentenir (lintah darat). Ada yang berjilbab syar’iy, tetapi bakhil dan suka menggunjing tetangga. Bahkan, ada santri yang bertahun-tahun nyantri, tetapi malas beribadah dan enggan berdakwah.
Memahami fenomena paradoks seperti itu kita patut mendudukkannya dengan adil. Keislaman adalah sesuatu yang patut disyukuri. Menjadi orang beriman merupakan kenikmatan tertinggi. Iman menjadi landasan diterimanya amal. Tanpa iman, amal tidak ada nilainya. Karena itu, bersyukurlah jika kita sudah beriman.
Idealnya, iman terwujud dalam amal dan akhlak. Tanda sempurnanya iman seseorang adalah baiknya akhlaknya. Seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, tidak akan mau menyia-nyiakan waktunya untuk bermalas-malasan, tanpa digunakan untuk mencari ilmu atau beribadah lainnya.
Pejabat yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, tidak mungkin mau menzalimi rakyatnya. Ia akan sangat takut mengambil harta yang bukan haknya, atau menggunakan uang rakyat yang tidak pada tempatnya. Ia pun tak akan mau menumpuk-numpuk harta – meskipun halal – tanpa digunakan untuk kebaikan pada sesama.
Karena itulah, Rasulullah saw bersabda, bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam; hendaklah ia memuliakan tamunya; hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Jadi, akar masalah pada kasus-kasus paradoks Indonesia – baik sebagai indvidu atau bangsa – adalah persoalan iman dan akhlak. Dan untuk inilah memang Rasulullah saw diutus kepada umat manusia. Beliau telah memberikan keteladanan yang peripurna dan metode yang jitu dalam membangun pribadi, keluarga, dan masyarakat berakhlak mulia.
Akhlak adalah kondisi jiwa yang kokoh yang dari jiwa itu lahir perbuatan tanpa dipikir lagi. Jika perbuatan itu baik, maka disebut sebagai “akhlak mulia”. Jika yang keluar adalah perbuatan yang jahat, maka disebut “akhlak tercela”.
Seorang yang begitu mendengar tetangganya menerima nikmat dari Allah langsung timbul rasa dengki – tanpa dipikir – maka itulah akhlak tercela. Seorang yang begitu melihat orang susah, lansung tergerak hatinya untuk menolong, itulah akhlak mulia.
Mungkin ada yang rajin menolong, tetapi dilakukan pada saat-saat musim Pemilihan Umum saja. Selesai musim Pemilihan Umum, selesai pula tindakan menolong orang susah. Yang seperti ini bukan termasuk akhlak mulia.
Lanjut baca,
PARADOKS INDONESIA: BEGINILAH SOLUSINYA (adianhusaini.id)