Artikel Terbaru ke-2.085
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 17 Desember 2024, umur saya genap 59 tahun. Di usia yang tak muda lagi, beban amanah bukan bertambah ringan. Anak ada tujuh. Dua cucu. Memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Masih harus mengetuai – padahal saya bukan yang paling tua – Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor. Itu belum ditambah lagi dengan menjadi pembina di beberapa yayasan pendidikan dan dakwah Islam.
Sejak kecil saya hidup di kampung santri. Dalam Pemilu tahun 1977 sampai Pemilu tahun 1982, kampung saya – Desa Kuncen Padangan Bojonegoro – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) selalu menjadi pemenang. Maklum, sebagian besar penduduk Desa Kuncen adalah pedagang.
Di kampung inilah saya menjalani proses pendidikan yang luar biasa. Pagi pergi bersekolah ke Sekolah Dasar Negeri. Siangnya harus bersekolah di Madrasah Diniah Nurul Ilmi Padangan Bojonegoro. Dulu namanya sekolah Arab, karena setiap hari harus menulis huruf Arab. Ini berlangsung selama enam tahun (1971-1977).
Gurunya bernama Haji Bisri. Ia benar-benar guru hebat. Ia mengajar dari pagi sampai sore. Kadang ia sendirian mengajar beberapa kelas. Ia punya toko sembako. Istrinya yang menjaga tokonya. Saya takut jika tak masuk Madrasah Diniyah ini.
Sore hari, setelah balik dari sekolah Arab, saya pergi ke Langgar (surau). Biasanya saya mengisi bak kolam untuk wudhu dan mandi. Selepas shalat maghrib, antri mengaji al-Quran. Menghafal dan membaca Juz Amma. Gurunya kakek saya saya sendiri. Ia berpuluh tahun mengajar ngaji al-Quran, sampai umurnya mencapai 90 tahun lebih. Pagi harinya beliau berdagang ke pasar. Begitulah kegiatan rutin sehari-hari yang kakek jalani.
Menginjak kelas V Sekolah Dasar, saya mulai mengikuti kajian kitab kuning. Di langgar itu ada kajian kitab kuning – Sullamut Taufiq -- untuk anak-anak tingkat SMA. Pengajarnya Kyai Syadili, kakak kandung Ibu saya. Saya suka mendengar saja. Tidak ikut mengaji. Lama-lama Kyai Syadili meminta saya ikut ngaji saja, dan beli kitabnya.
Kegiatan mengaji kitab kuning itu berlangsung sampai saya tamat sekolah di SMPN Padangan – satu sekolah SMP yang waktu itu termasuk yang terbaik di Kabupaten Bojonegoro. Itu yang saya dengar. Entah betul entah tidak. Yang jelas, lulusan SMPN Padangan zaman itu banyak yang diterima sekolah di SMA-SMA yang katanya bagus-bagus. Maksudnya bagus artinya yang bersekolah itu anak-anak pintar.
Selama mengikuti kajian kitab kuning bersama Kyai Syadili itu saya sempat menamatkan beberapa kitab, seperti al-Arba’in an-Nawawiyah, Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Bidayatul Hidayah. Bersamaan dengan itu, di rumah, ayah saya, Haji Dachli, berlangganan majalah Panji Masyarakat dan al-Muslimun. Majalah Panji Masyarakat biasanya menjadi bacaan bergilir. Setelajh ayah saya selesa membaca, dipinjam paman-paman. Kadang-kadang ada juga kerabat yang ikut pinjam.
Lanjut baca,