PENDETA INI MENYARANKAN JANGAN MEMANDANG MUSLIM SEBAGAI SETERU

PENDETA INI MENYARANKAN JANGAN MEMANDANG MUSLIM SEBAGAI SETERU

 (Artikel ke-1.293)

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Sejarah menunjukkan, banyak tokoh Kristen yang bersikap menentang penerapan syariat Islam di Indonesia. Itu berlaku sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini. Tetapi, ada juga tokoh dan cendekiawan Kristen yang menyarankan agar kaum Kristen tidak bersikap alergi dan traumatik terhadap kaum muslim yang berbicara tentang penerapan syariat Islam.

Di tahun 1945, kita mengenal nama Mr. Alex A. Maramis yang merupakan satu-satunya pemeluk agama Kristen dalam Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Bung Karno. Ia menerima Piagam Jakarta yang berisi kewajiban umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam.

Di zaman sekarang, ada juga seorang pendeta bernama Jan S. Aritonang yang menulis buku berjudul: “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). Buku ini menarik karena – disamping dilengkapi dengan data-data sejarah yang melimpah – juga disertai dengan saran dan harapan untuk mengatasi konflik Islam-Kristen di Indonesia.

Diantara sejumlah saran yang ditujukan kepada golongan Kristen adalah: “Tidak perlu bersikap alergik dan traumatik terhadap kaum Muslim yang berbicara tentang penerapan Syariat Islam.” Jan S. Aritonang juga mengimbau agar kaum Kristen bersikap lebih simpatik dan bersahabat terhadap kaum Muslim: “Memandang mereka sebagai seteru, pihak yang mengancam, atau pun yang harus ditaklukkan demi Injil atau demi apa pun, adalah tindakan bodoh dan tidak terpuji.” 

Sejak sidang-sidang BPUPK tahun 1945 hingga kini, perdebatan tentang penerapan syariat Islam di Indonesia sudah berlangsung 77 tahun. Kini, syariat Islam sudah diterima kehadirannya di Indonesia. Ekonomi Syariah sudah diberlakukan secara resmi. Bahkan, di Indonesia ada Dewan Syariah Nasional (DSN). Fatwa-fatwa DSN secara resmi diterima oleh Bank Indonesia dan OJK.

Karena itu, sikap alergi terhadap syariat Islam dan juga Piagam Jakarta, sudah semakin berkurang. Apalagi, kedudukan Piagam Jakarta pun sudah semakin jelas. Meskipun secara verbal terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

            Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

            Perlu dicatat, bahwa sejak 1945, meskipun Piagam Jakarta dihapuskan, tetapi umat Islam juga mendapatkan konsesi pendirian Departemen Agama. Dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, usulan pembentukan Departemen Agama ditolak oleh tokoh Kristen Latuharhary dan sejumlah kalangan.

 

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/pendeta-ini-menyarankan-jangan-memandang-muslim-sebagai-seteru

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait