Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kemenangan Partai Kristen dalam Pemilihan Umum Belanda tahun 1901, mengubah kebijakan liberal menjadi kebijakan (Politik) Etis di daerah jajahan, termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Atas saran Snouck Hurgronje dan JH Abendanon, dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang lebih bersifat elitis. Tujuannya untuk mentranformasikan kalangan elite pribumi dari kalangan priyayi tradisional menjadi sebuah elite baru yang terdidik secara Barat.
”Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting, untuk melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan itu juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ”fanatisme” Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia,” demikian ditulis oleh Yudi Latif, dalam bukunya, Pendidikan Yang Berkebudayaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020).
Tetapi, pada akhirnya, sesuai kebijakan Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909), dan A.W.F. Idenburg (1909-1916), pemerintah kolonial juga mengembangkan berbagai jenis pendidikan untuk kalangan masyarakat yang lebih luas. Kebijakan ini dilakukan untuk keberhasilan Politik Etis.
Kebijakan pendidikan kolonial ini berpengaruh besar dalam meningkatkan angka partisipasi rakyat Hindia Belanda yang bersekolah di sekolah-sekolah rakyat dan sekolah bergaya Eropa. Tahun 1900, jumlahnya ada 101.003 siswa. Tahun 1910, jumlah itu naik menjadi 310.496. Dan pada tahun 1920, dari 48.428.711 juta penduduk Hindia ketika itu, ada 829.802 siswa. (Lihat, Yudi Latif, Pendidikan Yang Berkebudayaan).
Para tokoh Islam dan tokoh nasionalis tidak berdiam diri menghadapi kebijakan pendidikan kolonial tersebut. Ki Hajar Dewantara mengritik keras sistem pendidikan kolonial, yang menurut Ki Hajar: “Pendidikan yang selama ini diterima orang Indonesia dari Barat jauh dari kebal terhadap pengaruh-pengaruh politik kolonial; singkatnya, ialah pendidikan yang ada hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial; dan ini sifatnya tetap semenjak zaman VOC meskipun di bawah politik etika. Tetapi anehnya, banyak priyayi atau kaum bangsawan yang senang dan menerima model pendidikan seperti ini dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata hanya memberikan surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.”
Lanjut baca,