Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam alam sekular, politik dianggap sekedar seni untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan segala cara. Politik harus dibebaskan dari moralitas. Yang penting kekuasaan. Demi meraih kuasa, tipu sana tipu sini, bukan soal lagi. Bahkan, jika perlu, teror pun digunakan, demi kekuasaan. Pertahankan dan rebut kekuasaan, dengan cara apa pun!
Itulah politik bebas nilai, sebuah bentuk politik yang secara sistematis diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia.
Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai "amoral". Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah "survival" (mempertahankan kekuasaan).
Kata Machiavelli, "Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror." Ditulis dalam The Prince: "It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case." Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Jadi, nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai "politik modern" tentu saja tak lepas dari arus besar renaissance (kelahiran kembali) masyarakat Eropa, yang selama hamper 1.000 tahun hidup di bawah sstem politik teokrasi (kekuasaan Tuhan). Tuhan – melalui wakilnya di bumi – mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak disahkan oleh wakil Tuhan.
Berbagai penyimpangan sistem teokrasi kemudian melahirkan semangat pemberontakan terhadap agama. Revolusi Perancis (1789) yang mengusung jargon "Liberty, Egality, Fraternity", secara terbuka menyingkirkan – bukan hanya system monarkhi – tetapi juga dominasi kaum agamawan dalam politik. Sebelumnya, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis.
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi "politisasi agama"; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/politik-untuk-ibadah,-bukan-sekedar-untuk-berkuasa