Artikel ke-1.835
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di bulan Ramadhan 1445 Hijriah ini, Pesantren At-Taqwa Depok – seperti tahun-tahun sebelumnya – menyelenggarakan program kajian keilmuan yang intensif. Selama 20 hari, 1-20 Ramadhan, para santri mengikuti kajian berbagai kitab dan telaah beberapa isu kontemporer. Mahasiswa STID Mohammad Natsir juga mengikuri program KIRAM (Kuliah Intensif Ramadhan) selama sepekan.
Ramadhan adalah bulan ibadah. Dan mencari ilmu (thalabul ilmi) merupakan salah stau ibadah yang sangat penting dan berpahala sangat besar. Kata Imam al-Ghazali, “Al-ilmu bi-laa amalin junuunun; wal-‘amalu bi-laa ‘ilmin lam yakun.” (Ilmu tanpa amal itu gila, dan amal tanpa ilmu itu sia-sia).
Karena itulah, Ramadhan harus diisi dengan kegiatan mencari ilmu yang baik dan bermanfaat. Jangan sampai ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat dan bahkan ilmu yang merusak pemikiran dan jiwa masih saja diajarkan kepada para santri, pelajar, atau mahasiswa.
Apalagi, bulan Ramadhan tahun ini, para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi juga sedang aktif masa kuliahnya. Semoga para mahasiswa itu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang semakin menguatkan mahasiswa untuk meningkatkan iman, taqwa, dan akhlak mulianya.
Sebagai contoh, masih ada buku ajar untuk mahasiswa yang mengajarkan konsep ilmu yang menolak wahyu sebagai sumber ilmu. Bahkan menganggap ilmu agama sebagai tahap ilmu yang rendah, dan bagian dari sejarah masa lalu.
Misalnya, dalam buku berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), dikutip pendapat Auguste Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia, yaitu religius, metafisik, dan positif. Selanjutnya, diuraikan: “Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif.”
Teori positivisme Comte – dalam perspektif Islam – jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme, dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan yang didapat dari panca indera manusia. Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia – di Barat dan di Timur – di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri, banyak manusia percaya kepada “dukun ramal” (fortune teller).
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam makalahnya yang berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam, ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-khamsah), akal fikiran sihat (al-’aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-sadiq), dan intuisi (ilham).
Lanjut baca,
RAMADHAN JANGAN DICEMARI DENGAN ILMU-ILMU YANG MERUSAK PIKIRAN DAN JIWA (adianhusaini.id)