Artikel Terbaru ke-2.200
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sebuah situs tentang tenaga kerja disebutkan: “People are considered employed if they work at least one hour for pay or at their own business at any time during the week including the twelfth day of the month.” (https://www.nhes.nh.gov/elmi).
Jadi, bekerja dikaitkan dengan bayaran atau upah. Ibu rumah tangga yang bekerja keras mengasuh dan mendidik anak-anaknya, tetapi tidak mendapat bayaran, maka tidak dikategorikan sebagai “bekerja”. Bahkan, ada yang menyatakan, untuk apa kuliah mahal-mahal jika ujung-ujungnya tidak bekerja.
Dalam sebuah acara diskusi di televisi, seorang penyiar menyampaikan narasi bahwa untuk apa para mahasiswa itu kuliah bayar mahal-mahal jika ujungnya tidak mendapatkan pekerjaan. Atau, akhirnya, mereka harus bekerja di luar bidang ilmu dan ketrampilan yang dipelajari semasa kuliahnya.
Pemahaman seperti sang penyiar itu mungkin biasa kita baca atau kita dengar. Inilah sebenarnya bahaya paham sekularisme yang melihat segala sesuatu dari aspek materi dan menafikan aspek Ilahiyah dan ukhrawiyah. Tidak ada perspektif ibadah dalam menilai suatu pekerjaan.
Ibu rumah tangga atau pengurus masjid yang bekerja keras dan sepenuh hati untuk kemaslahatan manusia tidak dipandang sebagai pekerja. Padahal, mereka bekerja. Pekerjaan mereka itu begitu mulia. Bahkan, jika mereka dalam kondisi berjuang di jalan Allah, mereka pasti ditolong oleh Allah. Jika mereka bertaqwa kepada Allah SWT, maka mereka akan diberikan rizki dari jalan yang mereka tidak perhitungkan.
Karena itu, kita patut berduka ketika membaca buku-buku ajar tentang sejarah manusia dan tujuan hidupnya di dunia ini. Para penyusun kurikulum dan penulis buku ajar itu tidak mau merujuk kepada wahyu Allah untuk memahami asal-usul dan tujuan hidup manusia (Bani Adam). Padahal, begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan bagaimana kisah penciptaan Adam dan tipudaya Iblis agar Adam dan Hawa tidak mentaati perintah Allah SWT.
Tujuan hidup manusia pun sangat jelas, yaitu “untuk beribadah kepada Allah”. Maka, betapa sedihnya kita melihat anak-anak muslim dipaksa untuk belajar ilmu-ilmu yang tidak menekankan aspek ibadah dalam aktivitas kehidupan mereka. Seolah-olah, tujuan utama hidup manusia adalah untuk bekerja dan mencari makan. Itu saja!
Meskipun mahasiswa muslim tidak melaksanakan shalat lima waktu atau tidak bisa mengaji al-Quran, tetap diluluskan sebagai sarjana. Yang penting skripsi dan ijazahnya dianggap asli. Padahal, mereka muslim, yang – sesuai dengan amanah konstitusi – harus mendapatkan pendidikan untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.
Rekayasa penulisan sejarah manusia itu sudah saatnya dikoreksi secara mendasar oleh pemerintah. Apalagi, para menterinya saat ini adalah para ilmuwan muslim yang baik. Kita menyambut baik upaya pemerintah untuk menerapkan metode pembelajaran yang baik, tetapi yang lebih penting adalah bahan ajarnya itu benar dan tidak menyalahi ajaran Islam.
Dengan rekayasa sejarah yang menggambarkan sebagai kelanjutan kehidupan bangsa kera (hominid) telah menjerumuskan pemikiran mereka, seolah-olah tujuan hidup mereka yang utama adalah untuk mencari makan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/rekayasa-sejarah-manusia-agar-lupa-tujuan-hidupnya