Artikel Terbaru ke-2.268
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 6 Februari 2024, situs berita detik.com memuat artikel berjudul: “Menekel Isu Depresi pada Mahasiswa.” Dikutip pernyataan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, bahwa hasil screening internal, ada 60 persen mahasiswa baru UI sudah mengalami depresi. Padahal perkuliahan belum dimulai.
Gangguan terhadap kesehatan mental mereka ini berkaitan dengan masalah yang dialami di lingkungan keluarga. Alhasil, tugas dosen ketika perkuliahan dimulai menjadi makin berat, selain harus mengedukasi, tetapi juga sekaligus menjaga kestabilan mental mahasiswanya yang terlanjur menggendong setumpuk kegelisahan ke dalam kelas.
Di Amerika Serikat, situasinya pun tak jauh beda. Survei Healthy Minds pada tahun ajaran 2022/2023 menemukan bahwa 41 persen mahasiswa berbagai jenjang di sana mengalami depresi. Meski sedikit menurun daripada tahun sebelumnya (44 persen), tapi trennya sudah terus naik sejak 2014/2015 yang waktu itu masih di kisaran 20 persenan. (Lihat: selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-7178130/menekel-isu-depresi-pada-mahasiswa).
Artikel itu patut menjadi perhatian kita serius. Sebab, jika mahasiswa yang kuliah di UI saja banyak mengalami depresi, bagaimana dengan mahasiswa di kampus-kampus lainnya. Beberapa penelitian juga menunjukkan besarnya mahasiswa yang mengalami depresi, bahkan stress. Beberapa diantaranya kemudian berlanjut ke aksi bunuh diri.
Jika para mahasiswa UI saja banyak yang mengalami depresi, maka perlu dilakukan penelitian yang serius; khususnya tentang sebab dan solusinya. Ini tidak bisa dianggap sepele. Jika jiwanya sudah mengalami gangguan, maka akan rusaklah seluruh pribadi mahasiswa itu. Jiwa yang rusak atau kotor tidak akan melahirkan akhlak mulia.
Analisis sederhana bisa kita lakukan. Bahwa, hampir bisa dipastikan, mahasiswa depresi karena jiwanya tidak bersih. Jiwa tidak bersih karena mendapat asupan jiwa (ilmu) yang salah. Ia tidak mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Karena itulah, jiwanya rusak dan berikutnya akan rusak pula seluruh jasadnya.
Cobalah periksa kurikulum pendidikan yang diterima oleh mahasiswa yang depresi tadi. Apakah perumusan kurikulum itu sudah sesuai dengan fitrah manusia. Apakah para mahasiswa itu sudah memiliki worldview yang benar, sesuai dengan tuntunan dan keteladanan Rasulullah saw.
Para ulama pun sudah menjelaskan masalah ini. Kata Syekh al-Zarnuji, ilmu-ilmu fardhu ain adalah laksana makanan. Sedangkan ilmu-ilmu fardhu kifayah adalah laksana obat. Logisnya, jika kebanyakan minum obat dan kurang asupan makanan bergizi, maka akan rusak pula tubuhnya.
Karena itulah, dalam tradisi pendidikan Islam yang sudah berlangsung ratusan tahun, biasanya anak-anak mengaji kitab-kitab klasik tentang ilmu dan pendidikan, seperti kitab “Adabul Alim wal-Muta’allim” karya KH Hasyim Asy’ari, Kitab “Ta’limul Muta’allim” karya Syekh al-Zarnuji, kitab “Bidayatul Hidayah” karya Imam al-Ghazali, dan sebagainya.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/salah-ramuan-ilmu,-mahasiswa-depresi