SEMINAR MERUMUSKAN STRATEGI KEBUDAYAAN DI MUI

SEMINAR MERUMUSKAN STRATEGI KEBUDAYAAN DI MUI

 (Artikel ke-1.253)

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Selasa (2/8/2022) malam ini, saya menghadiri undangan Komisi Kebudayaan MUI untuk menjadi pembicara dalam acara dialog kebudayaan di Jakarta. Dua pembicara lain adalah Prof. Dr. Abudin Nata dan Dr. Syaiful Bahri.

Secara umum, para pembicara menyampaikan keprihatinan terhadap maraknya budaya pop atau budaya instan di tengah masyarakat. Tetapi, juga menyampaikan perlunya kita menyiapkan strategi budaya untuk menghadapi tantangan kebudayaan kedepan.

Maraknya budaya instan atau budaya jalan pintas terkait dengan pola pikir masyarakat yang menampatkan hal-hal yang bersifat materi sebagai tujuan utama. Tahun 1977,  budayawan Mochtar Lubis sudah menyampaikan, bahwa salah satu ciri utama manusia Indonesia adalah kemalasan untuk bekerja keras, tetapi mau meraih sukses secara instan meskipun dengan cara yang salah.

Tahun 1951, Mohammad Natsir sudah mengingatkan adanya pola pikir masyarakat yang berubah hanya beberapa tahun setelah kita merdeka. Jika sebelum kemerdekaan rakyat cinta pengorbanan, tetapi setelah merdeka, banyak yang sibuk untuk menunjukkan jasa-jasanya untuk meminta imbalan.

Maraknya budaya instan atau budaya jalan pintas memang patut dikhawatirkan. Sebab, budaya ini menafikan proses yang sepatutnya untuk mencapai satu tujuan. Ingin cepat kaya dan cepat sukses tetapi menggunakan cara-cara instan yang tidak terpuji; bukan dengan kerja keras dan kerja cerdas.

Kepada pengurus Komisi Kebudayaan MUI saya menyarankan agar dirumuskan satu strategi kebudayaan untuk membangun budaya ilmu di tengah masyarakat. Caranya, adalah dengan menumbuhkan model-model kebudayaan ideal dalam berbagai bidang, baik kesenian, pendidikan, dan sebagainya.

Artinya, budaya jalan pintas harus ditandingi dengan budaya ilmu yang mengutamakan tradisi berpikir sehat dan beradab. Cara ini hanya bisa dicapai dengan satu keyakinan akan keagungan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Tanpa keyakinan dan kebanggaan, suatu kebudayaan akan melemah, bahkan akan sirna.

Budaya instan bisa diibaratkan sebagai budaya gincu yang lebih mengutamakan aspek-aspek materi dan sifatnya temporal. Budaya ini tampak pada bentuk pemujaan yang berlebihan terhadap kekayaan, kekuasaan, kecantikan dan popularitas. Budaya gincu tidak mengutamakan aspek kebahagiaan jiwa manusia. Hidup digantungkan kepada kepuasan syahwat inderawi dan pujian manusia.

               Islam adalah agama yang mengutamakan pembentukan manusia yang berbudaya ilmu dan beradab kepada Tuhan. Yang diutamakan adalah terbentuknya akhlak mulia. Jadi, manusia luhur berbudaya ilmu, adalah para insan beradab yang memahami segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah.                Karena itu, dalam penyusunan tujuan dan kurikulum pendidikan, kita perlu merujuk pada konsep budaya ilmu yang benar. Tujuannya agar terbentuk manusia yang memahami batas-batas kebenaran dan kemanfaatan terhadap segala sesuatu. Dengan itu, ia mampu bertindak yang sepatutnya.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/seminar-merumuskan-strategi-kebudayaan-di-mui

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait