Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Nabi Muhammad saw memerintahkan umatnya – kita semua – untuk mencari ilmu. Kata Nabi saw: “Thalabul ‘ilmi fariidhatun ‘alaa kulli muslimin.” Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Tentu, ilmu yang wajib dicari adalah ilmu yang bermanfaat. Bukan ilmu yang mudharat. Bukan ilmu yang merusak masyarakat.
Silakan ditelaah, apakah ada definisi ilmu yang wajib dicari, dalam kurikulum Pendidikan kita, mulai TK sampai S3? Bahkan, definisi ilmu itu sendiri sering kali tidak diajarkan dengan benar. Contohnya, silakan dicermati definisi ilmu yang disebutkan dalam sebuah buku Filsafat Ilmu yang sangat terkenal di Indonesia berikut ini:
“Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut…. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.” (hal. 131-132).
Itulah definisi ilmu yang banyak disajikan di dunia Pendidikan kita, khususnya di peringkat Perguruan Tinggi. Jika konsep dan definisi “ilmu” semacam itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan pemikiran yang sangat serius.
Definisi ilmu semacam itu sangat koruptif. Ilmu hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat empiris, atau hal-hal yang bisa diindera. Padahal, dalam Islam, ada ilmu aqidah yang membahas hal-hal ghaib (non-inderawi). Pengetahuan yang bersifat pasti tentang sorga, neraka, ruh, jin, dan sebagainya, adalah masuk dalam ketegori ilmu, karena bersumber kepada khabar yang pasti kebenarannya (al-Quran).
Bahkan, andaikan definisi ilmu yang koruptif itu diterapkan secara konsisten dalam dunia Pendidikan kita, maka teori asal-usul manusia dari hominid (sebangsa kera), tidak patut dimasukkan ke dalam buku pelajaran sekolah. Sebab, hal itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Jadi, membatasi definisi ilmu hanya sebatas hal-hal empiris jelas mengacaukan dunia keilmuan dan pendidikan kita.
Juga, definisi bahwa kebenaran ilmu bersifat relatif, tidak absolut, pun merupakan definisi yang keliru. Sebab, pengetahuan bahwa “Allah itu Satu” adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina, dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai Akhir Zaman.
Dunia ilmu pengetahuan memang pernah memuja teori positivisme secara berlebihan. Teori positivisme Comte – dalam perspektif Islam – jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme.
Teori Comte ini pun tak terbukti. Sebab, manusia – di Barat dan di Timur – di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang kepercayaan kepada hal-hal yang metafisik dan juga tetap berpegang pada agama.
Dunia ilmu pengetahuan pun menerima kebenaran di luar positivisme, hingga kini. Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan keilmuan yang diajarkan kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan, bahwa kecepatan cahaya adalah sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya diminta untuk percaya, tanpa pembuktian empiris. Ketika dosen menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah bikinan Phytagoras, maka si mahasiswa juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara empiris, bahwa rumus itu benar-benar dibuat oleh Phytagoras.
Lajut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/semua-kekacauan-berawal-dari-ilmu