Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tokoh NU, K.H. Saifuddin Zuhri pernah menulis tentang toleransi dan pengorbanan umat Islam untuk bangsa dan negara Indonesia, demi persatuan Indonesia. Beliau menulis:
“Dihapuskannya 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta itu boleh dibilang tidak “diributkan” oleh Ummat Islam, demi memelihara persatuan dan demi ketahanan perjuangan dalam revolusi Bangsa Indonesia, untuk menjaga kekompakan seluruh potensi nasional mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berusia 1 hari. Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari Ummat Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan Ummat Islam “ngotot” mempertahankan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah terjadi. Ummat Islam hanya mengharapkan prospek-prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi hikmah.” (KH Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 51-52).
Kisah pengorbanan umat Islam Indonesia yang rela menghapus 7 kata dalam Pembukaan UUD 1945, diungkap lebih rinci oleh Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Muhammadiyah yang ikut dalam diskusi tentang dasar negara pada 18 Agustus 1945. Ketika itu, Kasman juga anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berikut ini kesaksian Kasman Singodimedjo:
“Waktu tiba di Pejambon (tempat sidang PPKI. Pen.), terbukti sedang ramai-ramainya diadakan lobbying di antara anggauta-anggauta Panitya. Dan tidaklah sulit bagi saya untuk mengetahui materi apakah yang sedang menjadi persoalan serius itu. Adapun materi termaksud adalah usul dari pihak non-Muslim di dalam Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk menghapuskan 7 (tujuh) kata-kata dari Piagam Jakarta, yakni berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dilihat dari segi pengusul-pengusulnya adalah logis sekali, bahwa mereka itu mengambil kesempatan dari psychologis moment yang pada waktu itu “ready for use” untuk memajukan usulnya yang peka (gevoelig), justru pada suatu moment bahwa “kemerdekaan Indonesia” sebagai kenyataan pada hari kemarinnya (tanggal 17 Agustus 1945) telah diproklamirkan, artinya untuk mundur sudah tidak mungkin lagi dan kemungkinannya hanya satu, yaitu untuk maju terus dan menghadapi segala konsekwensi follow up dari proklamasi telah merdeka itu.
Dan justru konsekwensi itulah memerlukan atau membutuhkan kekompakan dan persatu-paduan dari keseluruhan bangsa Indonesia tanpa kecuali, apalagi untuk menghadapi Tentara Sekutu yang dengan kelengkapan senjatanya telah tercium sudah “tingil-tingil” hendak mendarat di daratan Indonesia, sedang balatentara Dai Nippon menurut kenyataannya masih saja “tongol-tongol!” berada di daratan Indonesia, pula lengkap dengan persenjataannya yang belum lagi sempat untuk diserahkan sebagai akibat kalah perang kepada Sekutu yang menang perang.
Memang pintar minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk memanfaatkan kesempatan moment psychologist. Dalam pada itu pembicaraan di dalam lobbying mengenai usul materi tersebut agak tegang dan sengit juga. Tegang dan sengit karena Piagam Jakarta itu pada tanggal 22 Juni 1945 toch dengan seksama dan bijaksana telah ditetapkan dan diputuskan bersama… Apa dari rumus tujuh kata-kata itu yang dapat dianggap sebagai merugikan golongan non-Muslim? Golongan ini sama sekali tidak akan berkewajiban atau diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam; tidak! Bahkan toleransi Islam menjamin golongan non-Muslim itu mengamalkan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya.
Bahkan golongan non-Muslim mempunyai kepentingan yang besar sekali, bahwa ummat Islam itu akan mentaati dan menjalankan agamanya (Islam) setertib-tertibnya, sebab jika tidak begitu maka golongan minoritas non Islam itulah pasti akan menjadi korban dari pada mayoritas brandal-brandal, bandit-bandit dan bajingan “selam” yang tidak tertib Islam itu!...
Sayapun di dalam lobbying itu ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit yang utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari kata-kata termaksud, karena Piagam Jakarta itu adalah wajar dan logis sekali bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia sebagai keseluruhan. Tetapi saya pun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan, adanya situasi darurat dan terjepit sekali itu. Kita bangsa Indonesia pada waktu itu sungguh terjepit antara Sekutu yang telah tingil-tingil hendak mendarat dan menjajah kembali di bawah penjajah Belanda (anggauta Sekutu) dan pihak Jepang yang tongol-tongol masih berada di bumi kita, yakni Jepang yang berkewajiban menyerahkan segala sesuatunya (termasuk Indonesia) kepada Sekutu (termasuk Belanda)!
Jepitan itulah yang membikin kami golongan Islam dan Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tidak dapat tetap ngotot prinsipiil, dan akhirnya kami menerima baik janji Bung Karno, yakni bahwa nanti 6 (enam) bulan lagi wakil-wakil bangsa Indonesia berkumpul di dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang sempurna sesempurna-sempurnanya, seperti (janji tersebut) dapat juga dibaca di dalam Undang-undang Dasar 1945 bagian terakhir.” (Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 121-124).
Lanjut baca,