Artikel ke- 1.805
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Percaturan perebutan kursi kepresidenan Indonesia memasuki hari-hari perhitungan suara. Kita berharap semua berjalan sesuai prinsip kejujuran dan keadilan (jurdil). Ingatlah, jabatan atau kekuasaan akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Hakim Tunggal di Akhirat, Allah SWT.
Ada baiknya, para calon presiden menyimak kisah Imam Abu Hanifah. Beliau lebih memilih masuk penjara dan dicambuk ketimbang menerima jabatan di pemerintahan. Beliau wafat pada 150 Hijriah (767 M). Tahun ini pula Imam al-Syafii lahir.
Imam Abu Hanifah dijebloskan ke penjara oleh Gubernur Iraq Yazid bin Amr bin Hurairah Al Fazzary, karena menolak jabatan sebagai Kepala Urusan Perbendaharaan Negara (Baitul-Mal). Padahal, ia sudah dibujuk berulang kali. Bahkan, Sang Imam bersumpah: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekali pun–andai kata-aku sampai di bunuh olehnya.”
Akibatnya, Imam Abu Hanifah ditangkap dan dipenjara selama dua Jumat (dua pekan) dengan tidak dipukul. Kemudian – sesudah dua Jumat – baru dipukul/di dera empat belas kali. Lalu, ia dibebaskan.
Lain waktu, Sang Imam menolak jabatan menjadi Qadli (Hakim) kota Kufah. Ia ditangkap lagi dan dijebloskan ke dalam penjara. Di dalam penjara — karena tetap menolak pengangkatan itu – maka ia dijatuhi hukuman 110 kali cambuk. Hukuman itu dicicil, tiap hari 10 kali cambukan. Akhirnya, sang Imam dilepaskan kembali dari penjara sesudah merasakan 110 kali cambukan.
Saat keluar penjara, tampak mukanya bengkak-bengkak, akibat bekas cambukan. Mengalami semua hukuman itu, Imam Hanafy hanya berucap: “Hukuman dunia dengan cemeti itu lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cemeti di akhirat nanti.”
Beberapa waktu kemudian, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur menawari jabatan sebagai Hakim (Qadli) Negara di Baghdad kepada Imam Abu Hanifah. Tapi, lagi-lagi, ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap lagi dan dipenjara. Akhirnya, beliau pun wafat di penjara dalam usia 70 tahun. (Kisah ini dikutip dari buku Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab karya K.H. Moenawar Cholil (Jakarta: Bulan Bintang, cet. kesembilan, 1994).
Kisah Imam Abu Hanifah bukan dongeng. Tapi, itu fakta sejarah. Seorang yang yakin akan masa depan hidupnya di akhirat, maka ia akan sangat berhati-hati dalam menerima jabatan atau kekuasaan. Berat sekali amanah itu. Menjadi penguasa yang adil perlu ilmu, perlu niat ikhlas, dan harus rela berkorban untuk rakyatnya.
Lanjut baca,
YANG MAU JADI PENGUASA, INGATLAH KISAH IMAM ABU HANIFAH (adianhusaini.id)