Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di Singapura, semboyan banyak anak banyak rejeki, benar-benar terjadi. Semakin banyak anak, pemerintah Singapura memberikan bonus yang makin besar kepada orang tua dan anaknya. Banyak perempuan Singapura enggan memiliki anak, karena dianggap merepotkan karir mereka.
Di Indonesia, justru sebaliknya. Kurikulum sekolah menyebutkan, bahwa ciri-ciri negara maju diantaranya ialah angka pertumbuhan penduduk yang rendah. Karena ingin jadi negara maju, maka bayi manusia yang lahir dibatasi dan usia perkawinan ditunda. Padahal, bayi manusia lebih berharga daripada bayi kambing. Kita perlu konsep pendidikan yang lebih kreatif, yang memandang manusia sebagai potensi, bukan sebagai beban negara.
Pada 26 Agustus 2015, laman www.hidayatullah.com memuat berita menarik: “Singapura Beri Bonus Rakyatnya Yang Punya Banyak Anak”. Berita itu menyebutkan bahwa pemerintah Singapura menambah sejumlah insentif dan bonus bagi keluarga yang bersedia menambah anak. Cuti untuk ayah, misalnya, ditambah, dari sepekan menjadi dua pekan.
Dua tahun sebelumnya, pemerintah Singapura mengumumkan bonus untuk tiap bayi yang lahir. Begitu anak pertama dan kedua ‘nongol’, langsung dikucurkan dana 6.000 dolar Singapura (sekitar Rp 57 juta). Bonus itu ditingkatkan lagi untuk anak ketiga dan keempat. Begitu bayi lahir, ia langsung terima 8.000 dolar Singapura (sekitar Rp 77 juta). “Pemerintah menganggap berharga semua anak yang terlahir di Singapura,” kata Perdana Menteri (PM) Lee Hsien Loong.
Pada bulan November 2019, saya berbincang dengan sejumlah sahabat dari Singapura, dalam acara Simposium Internasional di Bandung. Mereka bercerita, bahwa semakin banyak anak mereka, semakin banyak pula bonus dan insentif pemerintah kepada kedua orang tua.
Lanjut Baca, http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/banyak-anak,-banyak-rejeki