KEBIJAKAN YANG BIJAK MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA  

KEBIJAKAN YANG BIJAK MAHKAMAH AGUNG  TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA   

 

Artikel Terbaru (ke-1.596)

Oleh: Dr. Adian Husain (www.adianhusaini.id)

            Pada 17 Juli 2023, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran No 2 Tahun 2023, tentang pekawinan beda agama. Dalam Surat Edaran ini, dijelaskan bahwa untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut: 

  1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

            Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) itu keluar setelah berbagai pihak mengajukan permohonan agar MA melarang hakim pengadilan untuk membuat keputusan yang mengesahkan perkawinan beda agama. SEMA No 2 tahun 2023 ini menjadi petunjuk bagi para Hakim di Indonesia dalam mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. 

            Seperti diketahui, sejumlah Pengadilan Negeri di Indonesia telah memutuskan untuk menerima pencatatan perkawinan beda agama yang diajukan oleh beberapa pasangan beda agama.  Penetapan hakim pengadilan negeri itu merupakan satu bentuk reduksi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Sebab, UU Perkawinan telah menetapkan, suatu perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut agamanya masing-masing.

            UU Perkawinan No 1 tahun 1974 memang hanya mengakui bahwa perkawinan yang sah di Indonesia adalah perkawinan berdasarkan agama. Perkawinan berdasar adat tidak disahkan oleh negara. Undang-undang ini tidak mengakui perkawinan sekuler atau perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan agama.

            Keputusan MA melalui SEMA No 2 tahun 2023 ini merupakan keputusan yang bijak. Sebab, sejarah mencatat, masalah perkawinan di Indonesia merupakan masalah yang sangat sensitif.  Umat Islam pernah melalukan protes keras terhadap RUU Perkawinan yang membuka peluang disahkannya perkawinan di luar agama.

            Alkisah,  pada 27 September 1973, ada sekitar 500 pemuda muslim yang berstatus “peninjau” dalam Sidang Paripurna DPR-RI menghentikan jalannya sidang. Para pemuda itu memprotes rencana pengesahan RUU Perkawinan sekuler yang diajukan pemerintah Orde Baru.

Menteri Agama Mukti Ali yang sedang berpidato menjawab pandangan-pandangan fraksi-fraksi, terpaksa berhenti. Para pemuda demonstran itu memasang spanduk-spanduk yang antara lain bertuliskan: “Sekulerisme dan Komunisme adalah Musuh Agama Islam dan Pancasila”, “Manusia yang Menyetujui RUU Perkawinan adalah Tidak Bermoral, “RUU Perkawinan adalah Konsepsi Kafir”.

Diantara pasal yang ditolak umat Islam adalah pasal 10 ayat (2) RUU Perkawinan, yang menyebutkan: ”Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.”   

Lanjut baca,

KEBIJAKAN YANG BIJAK MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait