Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Para orientalis Barat memiliki sejumlah motivasi dalam melakukan studi Islam. Ada yang bermotif mensukseskan penjajahan, seperti Snouck Hurgronje. Ada yang bertujuan memuluskan misi Kristen di dunia Islam, seperti Samuel M. Zwemmer. Di tahun 1911, Zwemmer menerbitkan jurnal Misi Kristen berkala bernama “The Moslem World”.
Melalui jurnal inilah, kaum misionaris meneliti ajaran Islam dan umatnya. Kajian itu tentu saja digunakan untuk kepentingan misi Kristen. Inilah salah satu contoh kajiannya. Dalam ‘The Moslem World’, edisi Oktober 1946, Dr. Samuel M. Zwemmer, menggambarkan inti kekuatan Islam. Selama kekuatan itu ada, maka dunia Islam akan sulit ditaklukkan oleh misi Kristen.
Inilah inti kekuatan Islam menurut Zwemmer: “The chief factor in this problem, however, is the character of Islam itself as a theistic faith… The strength of Islam is not in its devotion to Mohammed, nor in its ritual and pilgrimage, not even in its innate political character, but in its tremendous and fanatical grasp on the one great truth – monotheism – an idea which holds the Moslem world even more than Moslems hold it.”
Jadi, menurut Zwemmer, kekuatan Islam terletak pada karakteristik Islam itu sendiri; pada konsepsi Islam, pada “the character of Islam”, sebagai agama Tauhid. Karena itu, tidak heran, jika kemudian salah satu cara untuk menghancurkan umat Islam adalah dengan cara merusak karakter ajaran Islam itu sendiri. Yakni, dengan membuat rumusan ‘ajaran Islam palsu’, yang membuat kaum muslim kehilangan jati dirinya sebagai muslim; yang membuat umat Islam tidak yakin dengan Islam, dan enggan berpegang teguh dengan ajaran Islam. Ibarat makanan, nilai gizinya hilang. Akhirnya, makanan itu bukan menyehatkan, tetapi justru melemahkan tubuhnya.
Meskipun berusaha sekuat tenaga, selama ratusan tahun, penjajah belum berhasil meruntuhkan “bangunan pemikiran Islam”. Mereka memang menguasai ekonomi, politik, dan militer kaum muslimin. Namun, mereka belum berhasil meruntuhkan fondasi bangunan umat Islam. Umat Islam masih merdeka dalam menentukan pendidikan dan pemikirannya sendiri.
Para ulama, kyai, pimpinan dan guru-guru pesantren masih mampu dan berani memilih jalan merdeka dalam pendidikan. Mereka merumuskan sistem dan kurikulum pendidikannya sendiri, sesuai tradisi pendidikan Islam selama ratusan tahun. Mereka lebih mendahulukan adab daripada ilmu, seperti kata-kata terkenal Umar bin Khathab r.a.: ‘taaddabuu tsumma ta’allamuu’ (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian).
Para ulama dan para guru dahulu memegang prinsip pendidikan Islam itu dengan teguh. Keikhlasan dan adab dalam mencari ilmu ditegakkan. Jangan sampai anak diberikan ilmu yang tinggi, sebelum adab dan akhlaknya baik. Itu untuk mencegah lahirnya para penjahat berilmu tinggi.
lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/kekuatan-islam-menurut-misionaris