Artikel Terbaru (ke-1.579)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu perubahan penting yang dilakukan Panitia Sembilan – pimpinan Bung Karno – adalah menyempurnakan rumusan sila “Kemanusiaan” menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Bahwa, di Indonesia, kemanusiaan (humanity) yang harus dikembangkan adalah yang adil dan beradab. Bukan, kemanusiaan yang zalim dan tidak beradab.
Masalah ini pernah disinggung oleh Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, 12 November 1957. Natsir mengritik cara pandang sekuler yang dikatakannya sebagai paham tanpa agama, atau la diiniyah.
Sekularisme, kata Natsir, adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas keduniaan. ”Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka,” ujar Natsir.
Kata Mohammad Natsir, ”Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?”
Jika ditelaah, pidato Natsir itu sangat mendasar sifatnya. Natsir sudah mengkritik paham ”kemanusiaan” yang dijadikan pilihan bagi kaum sekular yang menafikan peran Tuhan sebagai sumber kemanusiaan. Padahal, paham kemanusiaan inilah yang kini dijadikan banyak orang untuk melandasi konsep-konsep HAM sekuler.
Demi ”kemanusiaan”, kaum sekular memandang baik perkawinan sesama jenis dan perkawinan lintas agama. Juga demi kemanusiaan, kaum sekular memandang perzinahan sebagai hal yang baik, selama dilakukan suka sama suka. Begitu juga, dengan alasan ”kemanusiaan” dan ”nilai kesenian”, kaum sekuler mendukung hak untuk ”bertelanjang” dengan alasan ”kebebasan berekspresi”.
Begitu juga, kaum humanis sekuler mendukung perkawinan beda agama, dengan alasan kemanusiaan. Yang penting, asal sudah saling cinta, maka harus diberikan kesempatan untuk menikah, tanpa peduli agama apa. Inilah konsep kemanusiaan yang bertentangan dengan ketentuan Tuhan, sehingga tidak bersifat adil dan beradab.
Seperti diketahui, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 16 menyatakan: ”Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution.” (Laki-laki dan wanita yang telah dewasa, tanpa dibatasi faktor ras, kebangsaan atau agama, memiliki hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap pernikahan, selama pernikahan, dan saat perceraian).
Lanjut baca,
KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB MENOLAK HUMANISME SEKULER (adianhusaini.id)