Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Bagi umat Islam, kemerdekaan Indonesia diyakini sebagai rahmat dari Allah SWT. Sebab, misi penjajah adalah: “gold, gospel, glory”. Disamping mengeruk kekayaan alam Indonesia dan menjajah secara politik, penjajah pun berusaha untuk memurtadkan umat Islam Indonesia. Penjajah menganggap Islam sebagai ancaman bagi keberlangsungan penjajahan.
Kaitan erat antara gerakan Kristenisasi dengan pemerintah penjajah, banyak diungkap oleh para ilmuwan Indonesia, seperti Dr. Aqib Suminto (bukunya: Politik Islam Hindia Belanda), Prof. Dr. Deliar Noer (bukunya: Gerakan Islam Modern) dan juga Dr. Alwi Shihab (Bukunya: Membendung Arus -- Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia).
Politik netral agama yang dikumandangkan oleh pemerintah Belanda terbukti tidak benar, sebab dalam kenyataannya, mereka sangat mendukung gerakan misi Kristen di Indonesia. Sejumlah dekrit kerajaan Belanda dikeluarkan untuk mendukung misionaris Kristen di Indonesia.
Alwi Shihab mengungkap, bahwa pada tahun 1810, Raja William I dari Belanda mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris akan diutus ke Indonesia oleh dan atas biaya pemerintah. Pada 1835 dan 1840, ada dekrit lain yang dikeluarkan, yang menyatakan bahwa administrasi gereja di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial.
Pada 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan, yang mencerminkan bahwa kedua badan di atas saling berkaitan. Dekrit itu menyebutkan bahwa administrasi gereja antara lain berfungsi mempertahankan doktrin agama Kristen. Karena itu, sejumlah fasilitas diberikan kepada para misionaris, termasuk subsidi pembangunan gereja, biaya pulang pergi misionaris Indonesia-Belanda, dan pembayaran gaji para pendeta, disamping subsidi untuk sekolah, rumah sakit, dan rumah yatim-piatu, serta berbagai keringanan pajak.
Pada tahun 1888, Menteri Urusan Kolonial, Keuchenis, menyatakan dukungannya terhadap semua organisasi misionaris dan menyerukan agar mereka menggalang kerjasama dengan pemerintah Belanda untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh Islam. J.T. Cremer, Menteri untuk Urusan Kolonial lain, dengan semangat yang sama, juga menganjurkan agar kegiatan-kegiatan misionaris dibantu, karena hal itu -- dalam pandangannya -- akan melahirkan "peradaban, kesejahteraan, keamanan, dan keteraturan.
Pada 1901, Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen, ditunjuk sebagai Perdana Menteri, menyusul kekalahan Partai Liberal oleh koalisi partai-partai kanan dan agama. Alexander Idenburg, yang di masa mudanya pernah bercita-cita sebagai misionaris, mengambil alih kantor pemerintah kolonial.
Kebijakan selama 50 tahun yang kurang lebih bersifat "netral agama" diubah menjadi kebijakan yang secara terang-terangan mendukung misi Kristen. Berbagai subsidi terhadap sekolah Kristen dan lembaga misi yang semula ditolak karena dikhawatirkan memancing reaksi keras kaum Muslim, mulai diberikan secara besar-besaran.
Lanjut baca,