Oleh: Nuim Hidayat
(Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok)
Nama KH Abdullah bin Nuh, tidak bisa dipisahkan dari sosok Imam al-Ghazali. Ulama, cendekiawan, sastrawan, dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Bogor. KH Abdullah bin Nuh lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 30 Juni 1905 (26 Rabiul Tsani 1323H) dan wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987.
Kyai Abdullah bin Nuh mengajar rutin kitab Ihya’ Ulumiddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Ia juga menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren al Ghazali.
Menurut putranya, Musthafa Abdullah bin Nuh, sejak kecil, Abdullah bin Nuh sudah mendapat pendidikan yang serius dari orang tuanya. Sejak belia, Abdullah telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah I’anat ath Thalibin Muslimin, Cianjur. Madrasah ini didirikan oleh ayahnya. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil. Hingga ia mengusai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis secara autodidak.
Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab Abdullah bin Nuh. Di awal tahun 1960-an, Maftuh sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Beliau sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata Maftuh.
Selepas dari Madrasah Ianat ath Thalibin Muslimin, Abdullah melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Arabiyah di kota Semarang. Madrasah ini dipilih karena diasuh oleh seorang ulama yang berilmu luas asal Hadramaut, Sayyid Muhammad bin Hasim bin Thahir al Alawi al Hadad al Hadrami. Ketika usianya menginjak 17 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Surabaya sekaligus merintis berdirinya lembaga pendidikan bernama Hadramaut School. Lembaga inilah yang memberi ruang kepada Abdullah untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya. Antara lain, mengajar, berdiskusi, ketrampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut. (Lihat Herry Mohammad dkk., GIP:2006)
Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan Abdullah dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, Abdullah berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu Keislaman. Ia lalu menetap di Ciwaringin Bogor dan mulai aktif berdakwah berbagai lembaga pendidikan di tanah air. Ia juga mendirikan Madrasah Pondok Sekolah Agama yang menjadi wadah bagi madrasah-madrasah yang ada di kota Bogor.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mengenal-pelanjut-al-ghazali-di-indonesia