Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ada satu artikel menarik yang ditulis oleh KH A. Wahid Hasjim di koran Asia Raya, 11 Mei 1945. Judulnya: “Agama dalam Indonesia Merdeka”, yang dimuat dalam buku berjudul “Menjelang Indonesia Merdeka”, ed. Pitoyo Darmosugito (Jakarta: Gunung Agung, 1982).
Melalui artikel ini, KH A. Wahid Hasjim mengajak bangsa Indonesia untuk bekerja keras dan bersatu-padu dalam meraih kemerdekaan. Ketika itu, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Belanda telah dikalahkan. Tetapi, kata KH Wahid Hasjim, umat Islam harus menyiapkan dan membulatkan tenaga untuk meraih kemerdekaan.
Disebutkan kata-kata terkenal dari Umar Bin Khathab r.a.: “Janganlah salah seorang dari kamu berpeluk tangan, tidak mencari rizki, sambal berdoa: Hai Allah, berilah saya rizki. Kamu sekalian toh telah mengetahui bahwa langit itu tidak akan menurunkan emas dan perak.”
Kyai Wahid Hasjim ketika itu menyatakan, bahwa bangsa Indonesia belum mampu meraih kemerdekaan, keluhuran dan kehormatan, disebabkan adanya upaya penjajah untuk memperlemah bangsa Indonesia dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial. “Kelemahan dalam tiga lapangan itu ditambah lagi dengan pecah-belah di kalangan bangsa kita,” tulisnya.
Menurut Kyai Wahid Hasjim, bangsa yang lemah akan senantiasa gagal dalam perjuangannya, dan akan kalah dengan bangsa-bangsa lain. Karena itu, agar bisa meraih kemerdekaan yang sempurna, bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang kuat. “Hal itu dapat dicapai dengan persatuan yang kokoh teguh,” tegasnya.
Untuk menyempurnakan persatuan bangsa Indonesia, dalam pembentukan negara Indonesia merdeka, yang perlu diajukan bukanlah pertanyaan: “Di mana tempat agama di dalam negara Indonesia itu nanti?” Tetapi, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: “Bagaimanakah caranya menempatkan Agama di Indonesia merdeka itu?”
“Saya ulangi lagi: Persatuan bangsa yang kokoh-teguh sangat perlu di waktu ini. Bagaimanakah caranya menempatkan agama di Indonesia Merdeka, dengan tidak mengendorkan persatuan bangsa yang sangat perlu di waktu ini,” tulis Kyai Wahid.
Hindarkan ta’assub!
Kyai Wahid Hasjim menjelaskan, bahwa biasanya perselisihan terjadi karena sifat fanatik atau ta’assub, atau kolot dalam memegang pahamnya. Sifat fanatik atau ta’assub itu pun menyebabkan sikap yang sama pada pihak lainnya. Islam menganjurkan pemeluk-pemeluknya untuk berpikir dengan sehat dan bebas.
Lanjut baca,