ONGKOS DEMOKRASI BEGITU MAHAL, BAGAIMANA KITA MENYIKAPINYA DENGAN ADIL

ONGKOS DEMOKRASI BEGITU MAHAL,  BAGAIMANA KITA MENYIKAPINYA DENGAN ADIL

Artikel ke-1.515

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Sandiaga Uno mengakui, bahwa dalam perhelatan Pilpres 2019, ia mengeluarkan dana sekitar Rp 1 triliun. Pengeluaran itu telah dilaporkan dan bisa dipertanggungjawabkan. Angka Rp 1 triliun itu sama dengan seribu miliar rupiah. Di Kota Depok, angka Rp 1 triliun sudah cukup untuk membangun satu pesantren dengan kapasitas huni sekitar 5.000 santri.

            Tahun 2024 ini, pemerintah dan DPR sudah menyepakati, anggaran Pemilu sebesar Rp 76 triliun.  Itu anggaran dari kas negara. Tentu belum termasuk anggaran kampanye masing-masing calon anggota legislatif dan calon presiden. Sebutlah, semuanya dalam kisaran ratusan dan mungkin ribuan triliun.

            Pada pemilu 2019 lalu, seorang sahabat saya, calon anggota DPR pusat, pernah berlaga di daerah pilihan Jawa Tengah. Ia berkisah, dana yang dia siapkan sebesar Rp 500 juta, seperti tidak berbekas. Ia pun gagal melangkah ke Senayan. Untuk pemilu 2024, konon kabarnya, pasaran biaya untuk satu calon anggota DPR pusat, sekitar Rp 10 milyar.

            Seorang konsultan media sosial pernah bercerita kepada saya, bahwa ada seorang calon anggota DPR pusat yang menyiapkan anggaran Rp 1 miliar, hanya untuk program kampanyenya, khususnya untuk media sosial.  Di zaman serba internet dan dominasi media sosial saat ini, peran media sosial bagi pembentukan opini publik sangat besar.

            Walhasil, sudah dimaklumi, bahwa ongkos demokrasi memang sangat mahal. Terutama pasca masuknya era reformasi. Tahun 2004 dimulai Pilpres secara langsung untuk pertama kali. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden RI. Tahun 2009, SBY kembali terpilih. Para tokoh reformasi merumuskan Presiden hanya boleh menjabat maksimal dua periode.

Tahun 2014 dan tahun 2019 Joko Widodo terpilih sebagai Presiden RI. Tahun 2024 kembali digelar pemilihan umum, dengan ongkos yang sangat mahal. Siapa pun pengganti Presiden Joko Widodo, akan menghadapi sistem demokrasi yang berbiaya mahal, dan kekuasaan yang terdistribusi secara luas. Tidak ada satu partai yang mayoritas mutlak, sehingga memerlukan koalisi atau kerjasama dengan partai-partai lain.

Apa pun kondisinya, saat ini yang berlaku di Indonesia adalah sistem demokrasi. Para tokoh Islam sepanjang sejarah – pasca kemerdekaan – sepakat untuk terjun ke dalam sistem demokrasi dalam rangka memperjuangkan aspirasinya. Itulah salah satu saluran politik yang dimungkinkan.

 

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/ongkos-demokrasi-begitu-mahal,--bagaimana-kita-menyikapinya-dengan-adil

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait