Artikel ke-1.830
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Majalah Media Hindu (Oktober, 2011) menyatakan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Tetapi, pandangan Media Hindu tentang Majapahit itu berbeda dengan majalah Hindu lainnya, yaitu Raditya. Pada edisi September 2008, Raditya menurunkan laporan utama yang mengkritik pengagungan Majapahit. Disebutkan: “Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman Majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu…Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?”
Jadi, menurut majalah Raditya, impian untuk kembali ke Majapahit justru merugikan kaum Hindu sendiri. Analisis majalah Hindu ini menarik, sebab ini terkait dengan identitas nasional Indonesia yang sering dicitrakan identik dengan Hindu, Budha, dan Sansekerta. Jika ditampilkan Candi Hindu Prambanan dan Candi Budha Borobudur, maka itu dikatakan sebagai “identitas nasional”.
Sebaliknya, jika ditampilkan Masjid, maka seolah-olah dianggap bukan identitas nasional. Tengoklah ornamen-ornamen di Bandara Soekarno-Hatta! Bandara internasional itu dipenuhi dengan simbol-simbol Hindu-Budha yang dianggap sebagai simbol nasional. Tapi, tidak tampak simbol-simbol Islam, seperti kaligrafi ayat al-Quran, Masjid, bacaan doa, dan sebagainya.
Tentu umat Islam perlu menghormati jika identitas Hindu-Budha dijadikan sebagai warisan agama Hindu-Budha. Umat Islam dan umat beragama lainnya perlu menghormari identitas agama dan budaya masing-masing agama. Majapahitisme, yakni paham pengagungan Majapahit, selama ini diajadikan sebagai materi ajar di sekolah-sekolah nasional.
Anak-anak muslim pun dipaksa untuk memiliki pemahaman bahwa Indonesia pernah jaya di zaman Kerajaan Hindu Majapahit. Selanjutnya diajarkan bahwa Kerajaan Majapahit runtuh karena diserbu Kerajaan Demak, yang merupakan Kerajaan Islam. Sebuah buku sejarah untuk tingkat SMA menyebutkan: “Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak).” Padahal, pada bagian lain disebutkan, bahwa: “Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya.”
Lanjut baca,