Artikel ke 1.762
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu perintah Allah kepada kita yang termaktub dalam berbagai ayat al-Quran adalah agar kita selalu berlaku adil: ”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Maidah: 8).
Kata “adil” lazimnya diberi makna: wadh’u syaiin ilaa mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuatu dengan ketentuan Allah). Para ulama Islam, dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, telah memberikan teladan dalam aktivitas politik dan kenegaraan.
Sebelum Indonesia merdeka, para tokoh Islam sudah berusaha mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan mencita-citakan negara merdeka itu akan diatur dengan agama Islam. Aspirasi para ulama itu diperjuangan dalam lembaga resmi bernama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Di lembaga BPUPK inilah para tokoh Islam berjuang sekuat tenaga. Tetapi, kondisi faktual, banyak anggota BPUPK – yang sebagian besar juga muslim – mencita-citakan negara merdeka yang tidak diatur oleh agama (Islam). Akhirnya, para tokoh Islam Islam menerima gagasan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta.
Meskipun pada 18 Agustus 1945 terjadi pencoretan “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta, tetapi umat Islam tetap mengakui eksistensi negara Indonesia dan umat Islam tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, dengan segala kekuatan mereka. Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari berhasil menggalang dukungan jutaan umat Islam untuk berjihad melawan penjajah.
Ketika itu, KH Hasyim Asy’ari adalah pemimpin tertinggi umat Islam Indonesia. Yakni, sebagai Ketua Majelis Syura Masyumi. Artinya, kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari memang diterima oleh seluruh umat Islam. Jadi, umat Islam Indonesia ketika itu sudah memiliki sikap yang adil terhadap Negara Republik Indonesia.
Tahun 1955, umat Islam Indonesia juga sepakat untuk berjuang melalui jalur Pemilu. Umat Islam diwakili sejumlah partai politik, diantaranya ialah: Masyumi, NU, Perti, dan PSII. Ketika itu, umat Islam tidak mengharamkan ikut Pemilu, atau golongan putih (golput). Mereka ikut pemilu sebagai jalan untuk meraih kekuasaan adalah dalam rangka ibadah dan untuk menegakkan keadilan.
Sebagai contoh, Anggaran Dasar Masyumi menegaskan tujuan Partai ini: “Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan ilahi.”
Para tokoh Islam terkemuka ketika itu, ikut berjuang melalui Pemilu. Mereka tidak mengharamkan pemilu. Mohamammad Natsir, Buya Hamka, KH Wahid Hasyim, dan sebagainya, bersepakat menjadikan Pemilu sebagai jalan perjuangan dakam bidang politik.
Para ulama Islam memahami bahwa sistem demokrasi memang mengandung berbagai kelemahan. Tetapi, mereka bersikap realistis. Itulah perlunya perjuangan untuk melakukan Islamisasi demokasi, sebagaimana disuarakan oleh Mohammad Natsir. Sebagai contoh, para tokoh Islam itu berjuang agar kedaulatan rakyat yang bersifat mutlak, dalam sistem demokrasi, bisa dibatasi dengan syariat Islam.
Lanjut baca,
PEMILU 2024, UMAT ISLAM PATUT BERSIKAP ADIL DAN JANGAN GOLPUT (adianhusaini.id)