Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi membuat definisi tentag Pendidikan Tinggi sebagai berikut: “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.”
Dalam bagian penjelasan UU No 12/2012 disebutkan, bahwa: “Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pendidikan Tinggi diartikan: “jenjang pendidikan formal setelah pendidikan menengah (pada akademi atau universitas)”.
Jika kita ikuti makna “Pendidikan Tinggi” tersebut, maka seorang yang tidak memasuki bangku kuliah Perguruan Tinggi, maka ia disebut “Tidak Berpendidikan Tinggi”. Artinya, orang itu berpendidikan rendah. Sehebat apa pun ilmunya, jika ia tidak kuliah di Perguruan Tinggi, maka ia tidak disebut berpendidikan tinggi.
Inilah kekeliruan yang sangat serius tentang makna Pendidikan Tinggi, dalam perspektif Islam. Sebab, Rasulullah saw telah memerintahkan setiap muslim: “Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin!” Maknanya: mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. Karena kita muslim, maka kita terkena kewajiban itu; berdosalah orang muslim yang tidak mencari ilmu.
Dengan definisi “Pendidikan Tinggi” versi KBBI atau UU No 12/2012, maka ribuan santri atau ulama muda yang belajar ilmu secara mendalam, sampai ke jenjang Pesantren Tinggi (Ma’had Aliy), mereka tidak bisa disebut telah menjalani pendidikan Tinggi. Sebaliknya, seorang yang mengikuti pendidikan formal sampai jenjang S1 atau S3, dikatakan telah menjalani pendidikan tinggi, karena memasuki jenjang Perguruan Tinggi yang formal.
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/penyempitan-makna-pendidikan-tinggi