Artikel Terbaru ke-2.046
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kemenangan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) disambut dengan sikap apatis oleh banyak kalangan. Trump sudah dikenal sangat pro-zionis. Tindakan buruknya yang terkenal adalah ketika memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, tahun 2017. Padahal, tindakan itu jelas melanggar hukum internasional.
Umat Islam di AS sempat berharap pada Presiden Obama dan Joe Biden dari Partai Demokrat. Tapi, Presiden Joe Biden pun mendukung tindakan genosida Zionis Israel terhadap warga Palestina di Gaza. Sudah lebih dari 43 ribu warga Palestina terbunuh. Meskipun begitu, pembasmian terhadap etnis Palestina oleh Zionis itu masih terus berlangsung.
Memang, dalam soal politik luar negeri terhadap Isreal, AS belum pernah berubah. AS selalu menempatkan Israel sebagai sekutu khususnya (special ally). Bahkan, politik AS itu bisa dikatakan tidak rasional, alias membabi buta.
Dengan kemenangan Donald Trump, maka hegemoni kelompok konservatif dan kristen-Yahudi fundamentalis diprediksi akan semakin dominan. Kelompok neo-konservatif ini terbiasa memainkan mitos-mitos tentang ancaman terorisme untuk menarik dukungan rakyat.
Dalam bukunya, American Dream, Global Nightmare (2004), Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, mencatat adanya 10 hukum dalam mitologi Amerika (the ten laws of American mythology).
Ke-10 hukum dalam mitologi Amerika itu ialah: (1) Fear is essential, (2) Escape is the reason for being, (3) Ignorance is bliss, (4) America is the idea of nation (5) Democratisation of everything is the essence of America, (6) American democracy has the right to be imperial and express itself throuh empire, (7) Cinema is the engine of the empire (8) Celebrity is the common currency of empire, (9) War is necessity, (10) American tradition and history are universal narratives applicable across all time and space.
“Ketakutan”, tulis Sardar dan Davies, “adalah esensial bagi AS”. Tanpa ‘ketakutan’ tidak ada AS. Ketakutan adalah energi yang memotivasi kekuatan dan menentukan aksi dan reaksi. Ketakutan dapat menghilangkan logika sehat. Isu keamanan menjadi sentral, bahwa rakyat AS dan Israel selalu berada dalam ancaman teroris, terutama dari Hamas
Tapi, kondisi sekarang bisa saja berubah. Dalam kasus pembantaian Israel atas warga Palestina di Gaza, AS hanya didukung oleh beberapa negara saja. Dukungan terhadap Palestina semakin menguat di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan juga di Asia. AS dan Israel tidak berhasil meyakinkan dunia, bahwa Hamas adalah kekuatan teroris yang berbahaya. Sebab, kekejaman Israel terlalu nyata di mata dunia.
Sejak terjadinya peristiwa WTC, 11 September 2001, AS berhasil menggalang opini dunia akan adanya ancaman global bernama terorisme Islam. Dalam bukunya, Who Are We? 2004), Samuel Huntington menegaskan, bahwa pencarian AS terhadap musuh baru pasca Perang Dingin sudah ketemu. Yaitu, militant muslim. Kondisi dunia internasional sudah berubah, khususnya setelah pasuan AS meninggalkan Afghanistan.
Lanjut baca,