Artikel Terbaru ke-2.204
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Seorang praktisi pendidikan bersuara keras: Mengapa anak pinter jadi dokter. Mengapa anak pinter tidak jadi guru! (https://www.facebook.com/reel/1210782380836422). Ia menyebut, di Finlandia pelajar terbaik baru boleh masuk kuliah pendidikan. Karena itu, jika ingin memperbaiki pendidikan kita, maka syarat masuk kuliah pendidikan harus ditingkatkan.
Tentu saja, ungkapan pegiat pendidikan itu bukan bermaksud merendahkan profesi dokter. Ia mengkritisi realitas berpikir umumnya masyarakat – dan mungkin juga banyak pejabat negara – bahwa kuliah kedokteran dianggap lebih bergengsi dibandingkan dengan kuliah guru.
Padahal, harusnya keduanya sama-sama mulia. Bahkan, sejatinya, menjadi guru lebih berat dan lebih rumit tugasnya. Sebab, objek garapan guru adalah hati manusia. Memperbaiki hati manusia bukanlah hal sederhana. Aktivitas itu memerlukan ilmu yang mumpuni, kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan.
Hati manusia adalah entitas terpenting dari manusia itu sendiri. Kata Rasulullah saw, jika hati itu baik, maka akan baik pula seluruh tubuhnya. Sebaliknya, jika hati itu rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuhnya. Itulah hati (qalb).
Ketika lulus SMA tahun 1984, saya diterima di dua Perguruan Tinggi, yaitu IPB Bogor dan IKIP Malang Jurusan Pendidikan Fisika. Berdasarkan hasil istikharah, saya memilih kuliah di IPB Bogor. Tapi, saya senang pelajaran Fisika dan Biologi. Sejak kuliah di IPB, saya sudah mengajar bahasa Arab. Ilmu-ilmu yang saya dapat dari pesantren, sangat bermanfaat.
Lulus Sarjana Kedokteran Hewan IPB, saya langsung terjun menjadi guru Biologi di satu pesantren di Bogor. Saat masuk Fakultas Kedokteran Hewan, saya sudah diberi informasi, bahwa kalau saya lulus, maka saya dengan mudah akan mendapatkan pekerjaan. Bisa menjadi pegawai Dinas Peternakan, praktik dokter hewan, bekerja di Perusahaan Peternakan, pegawai laboratorium, dan sebagainya.
Karena saya sudah aktif berdakwah, maka saya memutuskan untuk terjun langsung sebagai guru Biologi. Gaji saya ketika itu Rp 50 ribu sebulan. Alhamdulillah, cukup untuk makan sepekan. Tapi, dengan menjadi guru, saya bisa terus mengaji dan aktif dalam dunia dakwah. Aktivitas berikutnya adalah dunia jurnalistik. Semuanya diniatkan untuk berdakwah.
Saya belum sempat menyelesaikan pendidikan profesi dokter hewan. InsyaAllah, jika ada waktu, saya ingin juga mengambilnya. Banyak ilmu yang menarik dan bermanfaat yang saya dapatkan. Pekerjaan dokter hewan tidak kalah sulitnya daripada dokter manusia, karena pasiennya tidak bisa ‘ngomong’.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/anak-pinter-jadilah-dokter-dan-guru