Artikel ke-1.347
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki.” (QS Ali Imran:26).
Menjelang tahun 2024, suhu politik terasa semakin memanas di negeri kita. Berbagai pihak mulai melangkah untuk menyukseskan calon presiden pilihannya. Begitu juga persiapan untuk merebut jabatan-jabatan di pemerintahan lainnya. Di berbagai group WA, perbincangan tentang pemilihan presiden dan sebagainya, telah mendominasi.
”Ngompol” (ngomong politik) memang mengasyikkan. Kadangkala, ngompol memakan waktu berjam-jam, mulai malam hari sampai dini hari. Rasa kantuk dilawan dengan kopi, demi berbincang strategi memenangkan kontestasi politik.
Apa yang mau diraih dari perjuangan di bidang politik adalah ”kekuasaan”. Dengan kekuasaan seorang berpotensi besar melakukan kebaikan untuk masyarakat luas. Sebaliknya, dengan kekuasaan juga seorang dapat merusak masyarakat dan menumpuk-numpuk dosa.
Dalam pandangan alam (worldview) Islam, kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Kekuasaan itu bersumber dari Allah. Artinya, Allah adalah pemberi dan pencabut kekuasaan. Jika Allah berkehendak, maka seorang bisa menjadi presiden, menteri, atau gubernur. Jika Allah belum menghendaki, seorang bisa gagal menjadi cawapres, meskipun sudah sempat diukur baju seragam khususnya.
Karena itu, seorang penguasa wajib memahami, bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah pemberian Allah; bukan sebab-akibat dari hasil kampanye yang dia lakukan. Inilah aqidah ahlus-sunnah wal-jamaah. Semua hasil usaha yang kita raih adalah pemberian dan amanah dari Allah. Kita wajib berusaha, tetapi hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT.
Bahkan, ketika dokter mengobati pasiennya, lalu si pasien sembuh, maka pasien itu pun memuji Allah: ”Alhamdulillah!” Segala puji bagi Allah. Bukan pasien itu mengatakan, segala puji untuk dokter.
Berpolitik secara cerdas adalah berpolitik berdasarkan agama. Bukan menjual agama untuk tujuan politik. Itu namanya politisisasi agama. Berpolitik berdasarkan agama adalah berpolitik untuk meraih keridhaan Allah, dengan cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik pula. Berjuang untuk meraih kekuasaan adalah baik. Maka itu harus dibarengi dengan niat dan cara yang baik.
Dalam Gurindam 12, Raja Ali Haji menulis: ”Diantara tanda orang berakal, di dalam dunia ia mengambil bekal!” Rasulullah saw juga mengingatkan, bahwa orang yang paling cerdas adalah
Dengan kekuasaan di tangannya, seorang gubernur bisa mengeluarkan Pergub yang mewajibkan anak-anak muslim bisa shalat dan mengaji yang benar ketika mau lulus Sekolah Dasar. Dengan kekuasaannya, seorang Presiden bisa mengeluarkan Perpres yang memberdayakan para petani dan nelayan untuk mengelola aset-aset kekayaan negara secara adil. Bisa juga Presiden mengeluarkan ”Perpres Iman-taqwa” yang mewajibkan seluruh mahasiswa muslim wajib bisa shalat dan mengaji, sebelum ujian skripsi.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beginilah-berpolitik-yang-cerdas