(Artikel ke-1.243)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hari ketiga kunjungan ke Sumatera Barat, Sabtu (23/7/2022), saya menghadiri acara pelantikan pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kota Padang Panjang. Sudah puluhan kali saya menghadiri acara pelantikan pengurus daerah Dewan Da’wah. Tetapi, acara di Padang Panjang kali ini punya kesan dan makna khusus.
Pertama, acara ini bertempat di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Dalam sambutannya, Pimpinan Diniyah Putri menyatakan, bahwa Perguruan itu tidak dapat dipisahkan dari Dewan Da’wah. Karena itu, kapan saja Dewan Da’wah dipersilakan memanfaatkan fasilitas di sana, dengan gratis. Acara hari ini pun didukung penuh oleh Perguruan Diniyah Putri.
Dunia pendidikan di Indonesia tentu maklum, bawa Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang adalah satu lembaga pendidikan legendaris. Perguruan ini berdiri pada 1 November 1923. Pendirinya, seorang tokoh legendaris pendidikan pula, yaitu Rahmah el-Yunusiyyah.
Ketika itu diberi nama “al-Madrasatul Diniyyah lil-Banat”. Rahmah berpendirian, bahwa pendidikan untuk kaum putri akan lebih maksimal jika tidak digabung dengan pendidikan laki-laki. Dengan pertimbangan tertentu, akhirnya nama “Perguruan Diniyyah Putri” diganti dengan “Diniyyah Putri School.”
Rahmah el-Yunusiyyah adalah salah satu pelopor pendidikan di Indonesia. Dialah perempuan Indonesia pertama yang mendapat gelar kehormatan “syaikhah” dari Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, tahun 1957. Bahkan, mengikuti jejak Rahmah, Universitas al-Azhar kemudian ikut mendirikan pendidikan khusus putri.
Kedua, masih terkait tempat, yaitu Kota Padang Panjang. Ternyata, bukan hanya Aceh yang mendapat julukan Serambi Makkah. Padang Panjang pun diberi julukan “keren” itu. Tentu, itu terkait dengan kepeloporan para tokoh dan lembaga pendidikan di sini. Tokoh-tokoh besar seperti Buya Hamka, KH Imam Zarkasyi, dan sebagainya, pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Pelopor pendidikan di sini adalah Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka. Buya Hamka nyantri di Perguruan Thawalib pada usia 10 tahun.
Ketiga, acara pelantikan pengurus Dewan Da’wah Padang Panjang itu dihadiri seolah ulama senior Sumatera Barat, yaitu Buya Mas’oed Abidin (87 tahun). Saat ini, Buya Mas’oed merupakan kader Mohammad Natsir tertua yang masih aktif dalam berbagai aktivitas dakwah.
Dalam usianya sekarang, beliau mampu menyampaikan dakwah dengan sangat menarik. Tutur katanya teratur dan jelas. Terkait dengan kepeloporan dalam pendidikan, Buya Mas’oed menjuluki Kota Padang Panjang sebagai “Kota Budaya Dakwah dan Pendidikan”.
Buya Mas’oed Abidin menulis sebuah buku berjudul “Gagasan dan Gerak Dakwah Mohammad Natsir” (Yogya: Gre Publishing, 2016, cetakan keenam). Dalam satu bab berjudul “Memulai dari Apa yang Bisa”, dikutip kata-kata Mohammad Natsir yang menegaskan bahwa setiap muslim adalah dai:
“Tiap-tiap kita adalah dai pengemban tugas dakwah. Tukang becak yang muslim mempunyai tugas dakwah. Ia yang menjemput dan mengantar pulang ustadz dalam suatu pelaksanaan dakwah. Saudara marbot (penjaga) masjid mungkin buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi tugas membersihkan masjid, mengurus air masjid, menjaga keamanan sandal adalah pelaksanaan dakwah. Marbotlah yang mengurus semua itu. Dengan tugas itu, marbot menjadi dai. Yang jadi pejabat atau pegawai, dia adalah dai. Karena dengan kedudukannya, pelaksanaan dakwah dapat berjalan dengan lancar. Yang kaya, yang mendapat kekayaan dari Allah SWT, mungkin tidak bisa naik mimbar, tetapi dengan infaknya dia menjadi dai.”
Keempat, pelantikan pengurus Padang Panjang itu dihadiri pula oleh para pejabat daerah, seperti Wali Kota Padang Panjang, Kepala Kemenag, juga pejabat dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan Negeri. Dalam sambutannya, Wali Kota Padang Panjang Fadly Amran menyatakan komitmennya untuk mendukung aktivitas dan program Dewan Da’wah. Begitu juga Kepala Kemenag Padang Panjang.
Lanjut baca,