Artikel ke-1.684
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hari-hari ini, dunia inernasional terus mengecam Israel atas penjajahan dan kekejamannya di Jalur Gaza Palestina. Tapi, seperti biasa, Israel tidak peduli. Mereka merasa kuat karena jelas-jelas didukung oleh negara adikuasa AS dan beberapa negara lagi. Sistem PBB sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak bisa memberikan sanksi kepada Israel.
Beberapa kali dunia berharap pada presiden AS yang terpilih. Tapi, harapan itu pun lalu sirna kembali. Presiden AS senantiasa menempatkan Israel sebagai sekutu utamanya. AS kadang mengecam satu dua aksi Israel yang sudah sangat keterlaluan, tapi tetap tak ada sanksi.
Dalam berbagai propagandanya, Israel mengatakan bahwa mereka melakukan kebiadaban tersebut adalah dalam rangka untuk membela diri dari serangan-serangan roket Hamas. Propaganda ini adalah sangat keterlaluan kebohongannya. Kaum Zionis dan juga AS tidak mau melihat akar masalah Pelestina itu sendiri.
Palestina adalah negara yang dijajah; tanah air mereka dirampas oleh kaum Yahudi dengan dukungan Barat, khususnya Inggris dan AS. Kita perlu ingat kembali, bahwa hingga kini ada sekitar 4 juta pengungsi Palestina yang terusir dari negaranya. Masih ada yang sejak tahun 1949 mereka hidup di tenda-tenda pengungsi yang tersebar di wilayah Lebanon dan sebagainya. Mereka tidak jelas nasibnya hingga kini, apakah akan diizinkan kembali ke tanah airnya atau tidak. Hak untuk kembali (Right to Return) senantiasa ditolak Israel.
Padahal, bangsa Palestina adalah korban dari kebiadaban kaum Kristen di Barat terhadap Yahudi. Mereka tidak pernah membantai kaum Yahudi. Baratlah yang selama ratusan tahun membantai Yahudi. Bahkan, selama 800 tahun kaum Muslim di Andalusia menjadi pelindung kaum Yahudi. Begitu juga Turki Utsmani. Ketika pada tahun 1492 kaum Yahudi diultimatum oleh penguasa Kristen di Spanyol untuk pindah agama, dihukum mati, atau diusir dari Spanyol, maka ratusan ribu kaum Yahudi memilih untuk pergi dari Spanyol. Kemana mereka pergi? Tak lain mereka mengungsi ke wilayah-wilayah Turki Utsmani.
Meskipun memberikan gambaran yang tidak terlalu tepat terhadap perkembangan Islam, Encyclopedia Judaica masih mengakui bahwa sikap muslim terhadap Yahudi jauh lebih toleran dibandingkan sikap Kristen. Kata Encyclopedia ini: ”it displayed greater tolerance than Christianity.” Setelah mengalami berbagai kekejaman di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Utsmani merasakan hidup di tanah air mereka sendiri. Selama ratusan tahun mereka tinggal di sana, menikmati kebebasan beragama, dan berbagai perlindungan sebagai kaum minoritas dengan status sebagai ahlu zhimmah. Selama itu, kaum Yahudi tidak berpikir untuk memisahkan diri dari Utsmani.
Karen Armstrong, dalam bukunya, A History of Jerusalem mencatat, bahwa di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent--1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum muslim di Jerusalem. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat, “Here we are not in exile, as in our own country. ‘Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri.’”
Lanjut baca,
ISRAEL MAKIN TAK TAHU DIRI, DULU DILINDUNGI, KINI BANTAI MUSLIM SESUKA HATI (adianhusaini.id)