Artikel ke-1.685
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu tugas penting Presiden Indonesia periode 2024-2029 adalah membangun budaya ilmu di tengah masyarakat. Mengapa harus budaya ilmu? Sebab, tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi atau budaya ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam.
Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “haus ilmu”.
Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi sahaby” yang belum mampu dicapai oleh peradaban mana pun, hingga kini. Rasulullah saw menyebut generasi sahabat itu sebagai ”khairun naas”.
Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.
Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya agar menjadi umat yang kuat. ”Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah,” kata Nabi saw. Maka, beliau ajarkan doa agar umat tidak lemah dan malas. Umat Islam diperintahkan menjadi umat terbaik; juga didorong untuk bekerja keras agar mampu menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi saw melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah. Itu bentuk pemahaman yang ekstrim pada spiritualisme. Sebaliknya, Nabi juga mengingatkan bahaya penyakit cinta dunia. Jika umat Islam sudah terjangkit penyakit cinta dunia, maka mereka akan menjadi lemah, seperti buih. Meskipun jumlahnya banyak tetapi tidak diperhitungkan keberadaannya.
Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka.
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.
lanjut baca,
TUGAS PENTING PRESIDEN ADALAH MEMBANGUN BUDAYA ILMU (adianhusaini.id)