JALAN TAQWA ITU TERJAL DAN BERAT, TETAPLAH BERSEMANGAT

JALAN TAQWA ITU TERJAL DAN BERAT, TETAPLAH BERSEMANGAT

Artikel ke-1.832

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Pada 12 Maret 2024, umat Islam Indonesia – sesuai penetapan pemerintah – memasuki Ramadhan 1445 Hijriah. Seperti biasanya, kita bergembira dan bersemangat dalam meraih tujuan puasa Ramadhan, yaitu meraih derajat taqwa. Sebab, manusia bertaqwa adalah manusia paling mulia.

            Manusia akan sampai kepada derajat taqwa jika dirinya dipenuhi kecintaan dan keridhaan kepada Allah SWT. Imam al-Ghazali, dalam kitabnya al-Mahabbah, menulis: “Tiap-tiap yang indah itu dicinta. Tetapi yang indah mutlak hanyalah Satu. Maha Esa. Bahagialah orang yang telah sempurna mahabbahnya akan Dia. Kesempurnaan mahabbah-nya itu adalah karena dia menginsafi tanasub  (persesuaian) batin antara dirinya dan Dia.” (Dikutip oleh KH Abdullah bin Nuh dalam terjemah dan pengantarnya atas karya Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, (Bogor: Yayasan Islamic Center al-Ghazaly, 2010:v).

            Tetapi, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa semua bentuk ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah adalah buah dari ilmu.  Kata al-Ghazali:  “Ketahuilah saudara-saudaraku – semoga Allah membahagiakan kita semua dengan keridhaan-Nya – bahwa ibadah itu adalah buah ilmu.Faedah umur. Hasil usaha hamba-hamba Allah yang kuat-kuat. Barang berharga para aulia. Jalan yang ditempuh oleh mereka yang bertaqwa. Bagian untuk mereka yang mulia. Tujuan orang yang berhimmah. Syiar  dari golongan terhormat. Pekerjaan orang-orang yang berani berkata jujur. Pilihan mereka yang waspada. Dan jalan kebahagiaan menuju sorga.” (al-Ghazali, Minhajul Abidin (Terj. KH Abdullah bin Nuh), 2010).

            Jadi, kata al-Ghazali, keindahan cinta kepada Allah itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang bertaqwa. Itulah bahagia (sa’adah).  Di dunia ini pun kita sudah dapat meraih bahagia, dengan cara mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Bahagia bukan sesuatu yang sifatnya temporal, kondisional, dan tergantung pada faktor-faktor eksternal kebendaan sebagaimana dipahami oleh kaum sekular.   Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan bahagia (”happiness”)  sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.”  

Itulah hakekat pengendalian diri. Di sinilah shaum Ramadhan memiliki arti yang sangat penting, yakni sebagai upaya latihan pengendalian diri atau mengendalikan hawa nafsu.  Sabda Rasululullah saw: “al-Mujaahid man jaahada nafsahu” (HR Tirmidzi, shahih menurut al-Iraqi).  Jadi, menahan berbagai syahwat dunia di bulan Ramadhan adalah salah satu bentuk jihad fi-sabilillah.  Dengan latihan yang serius dan terus-menerus sebulan penuh, maka diharapkan naiklah derajat ketaqwaan kita. Maka, seharusnya, buah orang yang puasa adalah taqwa, takut untuk bermaksiat kepada Allah. Pejabat yang taqwa harusnya semakin takut menzalimi rakyatnya, atau membiarkan rakyatnya sengsara, sementara dia bergelimang kekayaan dari hasil uang negara yang bukan menjadi haknya. 

            Para pejabat seperti ini tidak mungkin meraih maqam taqwa dan bahagia. Orang-orang yang hidupnya bergantung pada pujian orang – baik ustad, kyai, ulama atau selebritis – tentulah tidak mungkin akan meraih bahagia. Sebab, pujian itu hanya sesaat saja.  Pujian itu suatu ketika akan sirna. Jika dia dipuji karena kecantikannya, maka suatu ketika akan muncul manusia lain yang lebih cantik; atau kecantikannya pun semakin memudar.   Seorang pejabat tidak akan selamanya diberi hormat. Apalagi pejabat yang berakhlak bejat. Dia dihormat karena pangkat; bukan karena harkat dan akhlak.  Saat menjabat dia dihormati;  dan saat kedudukannya hilang, dia bukan siapa-siapa lagi!

Lanjut baca,

JALAN TAQWA ITU TERJAL DAN BERAT, TETAPLAH BERSEMANGAT (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait