Artikel ke-1.848
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Sebelas tahun lalu, pada 1 Maret 2013, saya diminta menyampaikan pidato pembukaan (Keynote Speech) pada acara Munas III Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), di Palembang, Sumatera Selatan. Ketika itu, anggota JSIT baru sekitar 1.600 sekolah. Sekarang, jumlahnya sudah di atas 2.000 sekolah.
Ketika itu, saya sampaikan, bahwa saat ini, -- tanpa menafikan sektor-sektor lainnya -- bisa dikatakan, pendidikan adalah satu-satunya sektor dakwah yang bisa dengan mudah ditunjukkan berbagai keberhasilannya.
Dalam kurun sekitar 30 tahun terakhir, berbagai prestasi pendidikan Islam tampak menonjol, khususnya di tingkat taman kanak-kanak, dasar, dan menengah. Yang sangat menonjol adalah tertanamnya rasa kepercayaan dan bahkan rasa bangga kaum Muslim terhadap sekolah-sekolah Islam di berbagai daerah – apakah yang menggunakan label terpadu atau tidak.
Kini, dengan mudah kita menjumpai elite-elite muslim yang tanpa malu-malu dan bahkan merasa bangga mengirimkan anaknya ke sekolah Islam atau pondok pesantren. Prestasi-prestasi akademik sekolah Islam pun banyak yang membanggakan. Kita bisa menunjukkan sekolah-sekolah Islam unggulan di kota-kota di Indonesia yang nilai ujian nasionalnya melampaui prestasi sekolah-sekolah non-muslim atau sekolah umum.
“Kebanggaan” (pride/izzah) dalam diri seorang Muslim merupakan aspek penting dan mendasar untuk meraih prestasi-prestasi besar berikutnya. Jika kaum Muslim tidak bangga, tidak percaya, dan tidak memiliki ‘izzah terhadap lembaga-lembaga Islamnya sendiri, sulit diharapkan lembaga Islam itu akan berkembang. Jadi, kebanggaan dan kepercayaan kaum Muslim terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah modal dasar yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan Islam di masa depan.
Namun, patut disadari, setiap keberhasilan senantiasa diikuti dengan munculnya tantangan yang juga lebih besar. Pohon yang tinggi semakin kuat pula diterpa angin. Jika akarnya tidak kokoh, mudahlah pohon itu tumbang. Kebangkitan lembaga pendidikan Islam pun menghadapi – sekurangnya – dua tantangan berat.
Pertama, godaan materialisme. Karena banyak peminat, maka pendidikan dipandang sebagai bisnis yang menguntungkan. Sebagian mungkin ada yang tergoda “membisniskan” pendidikan Islam. Niat awal mendirikan lembaga pendidikan adalah untuk mencari untung, sebagaimana mendirikan perusahaan.
Jika niat ini diwujudkan dan dijalankan secara terus-menerus, maka bukan tidak mungkin – sedikit demi sedikit – akan menggerus semangat pendidikannya. Keberhasilan pendidikan diukur terutama dari banyaknya murid dan besarnya keuntungan bisnis pendidikan yang diterima. Pesantren atau sekolah dinilai bagus dan sukses, terutama karena banyaknya santri atau muridnya.
Lanjut baca,
KEBANGKITAN PENDIDIKAN ISLAM DI SIMPANG JALAN (adianhusaini.id)