Artikel ke-1.341
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada kunjungan hari ketiga (2/11/2022) di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), saya diminta mengisi tiga acara. Pagi dan sore, mengisi acara Dialog di RRI dan TVRI Kepri. Temanya cukup unik: “Dai Hinterland sebagai Garda Terdepan Pembangunan Bangsa”. Diskusi ini juga menghadirkan pembicara Bpk. Sofyan Sulaiman, pejabat di Pemprov Kepri dan Dr. Suryadi, Ketua Dewan Da’wah Kepri. (Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=1b5OYnsa8Yw).
Diskusi itu mengupas program Pemprov Kepri yang telah mengirim 50 orang dai ke pulau-pulau terpencil. Program ini merupakan program resmi Pemprov Kepri bekerjasama dengan sejumlah ormas Islam. Dewan Da’wah menyertakan 10 orang dai dalam program ini.
Memandang dai sebagai garda terdepan dalam pembangunan bangsa merupakan pandangan yang cukup berani. Dan tentu saja, pandangan itu sangat tepat. Sebab, komitmen bangsa kita adalah: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Para dai itu dikirim untuk membangun jiwa masyarakat di sejumlah pulau, terutama mendidik masyarakat agar menjadi orang baik.
Banyak cerita pilu tentang kehidupan keagamaan masyarakat di berbagai pulau terpencil itu. Ada masjid yang tidak bisa menyelenggarakan shalat Jumat, karena tidak ada khatibnya. Bahkan, ada cerita jenazah yang dikubur berdiri, karena tidak tahu bagaimana cara memperlakukan jenazah. Belum lagi banyaknya anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama yang baik; belum mengerti tata cara sholat yang benar dan cara mengaji yang baik.
Provinsi Kepri memiliki lebih dari 2400 pulau. Hanya ratusan saja yang sudah dihuni. Untuk menjangkaunya memerlukan perjalanan yang berat. Kadang harus menempuh pelayaran selama sekitar dua hari. Misalnya, perjalanan dari Tanjung Pinang ke Kabupaten Anambas dan Natuna. Biaya penerbangan cukup mahal. Karena itulah keterlibatan pemerintah Kepri sangat membantu program penempatan dai ini.
Para dai yang bertugas ini pun menghadapi tantangan yang cukup berat. Sebab, ada kalanya, penduduk di satu desa tersebar di enam pulau. Ia harus pergi dari pulau satu ke pulau lain untuk mengajar mengaji anak-anak di sana. Anak-anak muda seperti ini bisa kita sebut sebagai pejuang peradaban. Mereka sedang mengemban tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan.
Ternyata, tidaklah mudah untuk mencari para dai yang bersedia ditempatkan di pulau-pulau terpencil. STID Mohammad Natsir misalnya. Tahun 2022 ini, mewisuda 91 sarjana dakwah. Tetapi, permintaan dai dari seluruh Indonesia mencapai 240 orang lebih. Ketika dibuka program perekrutan dai, terjaring lima orang dai. Alhamdulillah.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/kisah-kisah-pilu-nasib-umat-di-pulau-pulau