(Artikel ke-1.277)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia bisa ditemukan sejumlah pemikiran kreatif dalam memahami dan menerapkan pemikiran politik Islam di Indonesia. Kreativitas itu bisa dipahami dalam perspektif adab. Yakni, bagaimana memahami dan menerapkan suatu konsep ideal dalam situasi yang tidak atau kurang ideal.
Konsep demokrasi, misalnya, telah dipahami dan diletakkan secara proporsional, sesuai hakekatnya. Sikap Mohammad Natsir dan para ulama serta cendekiawan Muslim Indonesia lainnya dalam memandang dan memperlakukan demokrasi secara tepat.
Sebagai muslim mereka tidak mengubah worldview-nya (pandangan alamnya) terhadap demokrasi, sehingga tetap kritis terhadap konsep demokrasi. Prinsip “suara rakyat adalah suara Tuhan” tidak diterima begitu saja, tetapi diberikan batasan Islam.
Itu menunjukkan, mereka tetap memegang Islamic worldview dalam memahami realitas. Tidak sebaliknya! Para ulama tidak mengubah konsep-konsep dasar Islam untuk dipaksakan agar sesuai dengan realitas yang bertentangan dengan Islam.
Sikap Mohammad Natsir, Hamka, KH Wahid Hasyim, Hasbi Ash-shiddiqiy dan sebagainya, terhadap demokrasi merupakan sikap ideal dan sekaligus realistis dalam menyikapi kondisi dan situasi. Dalam hal ini para ulama dan cendekiawan Muslim terus melakukan ijtihad dalam memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh umat Islam dengan menggunakan perspektif Islam.
Dalam berbagai situasi politik, seringkali umat Islam dihadapkan pada situasi yang tidak ideal; diberikan pilihan yang sama-sama sulit dan dilematis. Ketika itulah mereka berusaha mencari solusi, dengan tetap berpijak pada realitas. Salah satu pemikiran yang menarik terhadap pemikiran politik kontemporer, misalnya, diberikan oleh Prof. Dr. Deliar Noer, salah satu ilmuwan politik legendaris di Indonesia. Deliar Noer pernah menulis satu buku kecil berjudul Islam dan Pemikiran Politik (Jakarta: LIPPM, 1990). Buku Deliar Noer ini merupakan ulasan atas buku karya Munawir Sjadzali berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990).
Salah satu masalah yang dikritik oleh Deliar Noer adalah kesimpulan Munawir Sjadzali terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah yang – menurut Munawir -- “cenderung untuk beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam, dengan mengatakan bahwa Allah mendukung negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara yang tidak adil sekalipun Islam.”
Dengan merujuk kepada Kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah karya Ibn Taimiyah, Deliar menunjukkan, bahwa Ibn Taimiyah menekankan sekali agar seorang pemimpin harus adil. Tetapi, katanya, pemimpin juga harus bisa menjadi imam shalat. Ibn Taimiyah pun menekankan, bahwa menegakkan pemerintahan adalah wajib dengan tujuan untuk “mendekatkan diri kepada Allah.”
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/kreativitas-pemikiran-politik-islam-di-indonesia