MENGAPA SEKOLAH RAMAI-RAMAI KASIH UCAPAN SELAMAT KEPADA MURID-MURIDNYA YANG DITERIMA DI PTN

MENGAPA SEKOLAH RAMAI-RAMAI KASIH UCAPAN SELAMAT  KEPADA MURID-MURIDNYA YANG DITERIMA DI PTN

 

Artikel Terbaru ke-1.910

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

 

            Hari-hari ini, di berbagai media sosial, beredar banyak sekali poster ucapan selamat dari sekolah Islam yang para pelajarnya diterima kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tentu saja, hal itu terkait dengan ungkapan rasa syukur atas prestasi yang membanggakan dari sekolahnya. Dengan itu, kepercayaan masyarakat terhadap sekolah Islam dapat dijaga dan ditingkatkan.

            Ini fakta. Hingga ini, kuliah di PTN masih dipandang sebagai jalan sukses hidup. Bukan hanya dianggap sukses. Tapi, kuliah di PTN juga dipandang bergengsi. Apalagi kuliah di jurusan-jurusan yang para alumninya telah menduduki jabatan-jabatan mentereng di pemerintahan atau perusahaan. Sampai ada yang menulis: “Seapes-apesnya kuliah di … alumninya jadi menteri!”

            Rasa bahagia dan senang anak bisa kuliah di PTN bergengsi – yang rankingnya tinggi – tentu dirasakan oleh banyak sekali orang tua. Saya pun mengalami hal yang sama. Tahun 1984, saya lulus SMA Negeri. Alhamdulillah, saya diterima kuliah tanpa tes di dua kampus: IPB dan Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Malang (Sekarang: Universitas Negeri Malang).

            Ketika kabar gembira itu datang, saya sedang berada berada di Malang untuk mendaftar tes masuk PTN. Pilihan pertama: Teknik Nuklir UGM. Saat sedang mengantri mengembalikan formulir, seorang teman SMA saya menyampaikan kabar gembira, bahwa saya diterima di IPB dan IKIP Malang. Seketika itu juga, saya balik ke Bojonegoro. Formulir tes masuk PTN tidak saya masukkan.

            Setelah itu, saya shalat istikharah. Jatuhlah pilihan untuk kuliah di IPB. Padahal, saya senang pelajaran Fisika dan ingin menjadi guru Fisika. Tapi, pilihan menjadi guru ketika itu tidak dipandang sebagai pilihan bergengsi. Sementara itu, setiap tahun, dari sekolah saya, jatah masuk IPB hanya satu. Akhirnya, saya diarahkan untuk memilih IPB. Kalau tidak diambil, sekolah saya bisa kena sanksi.

            Ketika duduk di bangku SMA, saya juga mondok di Pesantren Ar-Rosyid Bojonegoro.  Saya mengaji kitab-kitab klasik di pesantren dalam bidang aqidah, fiqih, hadits, nahwu, shorof, dan sebagainya. Buku-buku dan tulisan Buya Hamka rutin saya baca. Kolom “Dari Hati Ke Hati” Buya Hamka, di Majalah Panji Masyarakat, secara rutin saya baca.

            Bahkan, buku-buku tentang sains yang mengkritik Teori Evolusi pun sudah saya baca. Saya pernah mengkritik muatan ajar pada pelajaran Biologi SMA, mengapa Teori Evolusi manusia yang tidak ilmiah, tetap diajarkan. Teori itu tidak sesuai dengan metode ilmiah yang diajarkan: mengamati, merumuskan hipotesan, melakukan percobaan, dan membuat kesimpulan.

Ketika itu guru Biologi saya menjawab, bahwa ini pelajaran Biologi. Bukan pelajaran agama. Saya pun diam. Alhamdulillah, di kemudian tahun, setelah lulus sarjana kedokteran hewan, saya menjadi guru Biologi dan mengajarkan “Biologi Iman” kepada para santri.

Alhamdulillah, saya mendapatkan teman-teman seperjuangan saat menjalani kuliah di IPB. Kegiatan Islam di kampus sangat menarik. Juga, saya sempat berguru kepada ulama-ulama di Bogor, seperti KH Didin Hafidhuddin, KH Abdullah bin Nuh, KH Tubagus Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, Ustadz Abdurrahman al-Baghadi, Bpk. Hardi Arifin, dan sebagainya. Sempat pula bertemu beberapa kali dengan Pak Natsir. Di Bogor pula saya sempat kuliah bahasa Arab di LIPIA Jakarta sampai tingkat akhir dan juga mondok di Pesantren Ulil Albab Bogor.

Lanjut baca,

MENGAPA SEKOLAH RAMAI-RAMAI KASIH UCAPAN SELAMAT KEPADA MURID-MURIDNYA YANG DITERIMA DI PTN (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait