MENYAMBUT HARI GURU NASIONAL: MENELADANI GURU NATSIR 

MENYAMBUT HARI GURU NASIONAL:  MENELADANI GURU NATSIR 

 

 

Oleh: Dr. Adian Husaini

Inilah kata-kata mutiara terkenal yang diungkap oleh Mohammad Natsir: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu  segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” (Mohammad Natsir, mengutip Dr. G.J. Nieuwenhuis).

Mohammad Natsir bukan hanya berkata dan bercita-cita. Ia membuktikan dirinya sebagai seorang guru yang ikhlas dan suka berkorban untuk bangsanya. Sebagai guru teladan, Natsir memulai dari dirinya sendiri. Ia melengkapi dirinya dengan ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menjadi guru yang baik.

Sejak kecil, Natsir memang anak yang haus ilmu. Sebagai pribumi anak pegawai biasa, Natsir mampu membuktikan dirinya sejajar dengan anak-anak keturunan Eropa atau bangsawan. Lahir di Solok, Sumatera Barat, tahun 1908, Natsir memasuki HIS (Hollands Inlandsche School) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah tingkat SMP, yaitu di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung.

Keberanian dan pengorbanan besar Mohammad Natsir dimulai ketika ia memilih untuk terjun langsung menjadi guru selepas tamat AMS.  Ia tidak mau melanjutkan kuliah ke universitas Belanda, baik di Jakarta atau di Belanda. Padahal, ia mendapatkan kesempatan untuk itu. 

Dalam memoar yang ditulis majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989, Natsir menceritakan tentang pendidikannya: ”Sampai di MULO, semuanya saya lalui dengan nilai baik. Malah dapat biasiswa dua puluh rupiah sebulan. Bisa beli buku dan keperluan lain. Padahal, saya sekolah sambil cari kayu bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu Natipij (Nationale Islamitische Padvindrij) dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Hingga akhirnya lolos masuk AMS di Bandung, juga dengan mendapatkan beasiswa sebesar tiga puluh rupiah sebulan. Di Bandung itulah saya berubah. Ternyata, yang bagus itu tak cuma meester.”

 

Universitas kehidupan

 

Selepas dari AMS, Natsir memilih menjalani pendidikan di ”UK” (Universitas Kehidupan). Ia benar-benar menjadikan seluruh aktivitas hidupnya sebagai satu proses pendidikan. Penguasaannya dalam berbahasa Belanda – bahasa kaum elite terpelajar waktu itu – menjadikannya diterima dalam pergaulan antar-intelektual ketika itu.

Natsir memiliki kecintaan dalam membaca buku. Ia menjadi anggota perpustakaan dengan bayaran tiga rupiah sebulan di Bandung. Setiap buku baru yang datang, Natsir selalu mendapat kiriman dari perpustakaan.

Ada tiga guru hebat yang mempengaruhi alam pikirannya, yaitu pemimpin Persis A. Hassan, Haji Agus Salim, dan pendiri al-Irsyad Islamiyah Syech Akhmad Syoerkati. Natsir tertarik kepada kesederhanaan A. Hassan, juga kerapian kerja dan kealimannya. Selain itu A. Hassan juga dikenal seorang ahli perusahaan dan ahli debat.

Di Kota Bandung ini pula, Natsir aktif dalam organisasi Jong Islamiten Bond (JIB). Di sini dia sempat berinteraksi dengan para cendekiawan dan aktivis Islam terkemuka seperti Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain. Natsir juga sempat mengikuti organisasi Partai Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Selain dalam bidang keilmuan, Natsir juga mulai terlibat masalah politik.

Kepada Majalah Tempo, Natsir mengatakan, bahwa ia merasa berdosa, jika tidak melibatkan diri dalam masalah masyarakat. Maka, kesempatan kuliah pun ditinggalkan. ”Persoalan masyarakat yang saya hadapi  lebih menarik. Dan saya merasa berdosa kalau itu saya tinggalkan. Waktu saya mengambil keputusan untuk tidak kuliah itu banyak juga yang terkejut. Tuan Hassan sendiri, yang dekat dengan saya, kaget,” kata Natsir.

Maka Natsir pun terjun sebagai guru agama di tingkat SMP, tanpa dibayar. Ia mengaku kasihan melihat murid-murid yang tidak mendapatkan pelajaran agama di sekolahnya. ”Saya mengajar karena terdorong untuk mengajarkan agama. Tidak dikasih gaji apa-apa. Saya juga ngajar di kursus pegawai kereta api. Bentuk pengajarannya sistem diskusi. Ketika saya lihat sekolah-sekolah kita sama sekali kosong dari pengajaran agama, saya berniat membentuk pendidikan modern yang sejalan dengan pendidikan agama,” papar Mohammad Natsir.

Dalam surat pribadinya kepada anak-anaknya saat berada di hutan belantara Sumatra Barat tahun 1958, Natsir juga menceritakan kisah hidupnya: ”Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain.  Aba ingin berkhitmad kepada Islam dengan langsung.  Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya.  Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.” (Kumpulan surat pribadi Natsir kepada anak-anaknya)

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menyambut-hari-guru-nasional:--meneladani-guru-natsir

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar