(Artikel ke-1.275)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari Rabu (23/8/2022), saya diminta mengisi acara Diskusi tentang Pancasila oleh DPW PKS Nusa Tenggara Barat. Temanya: Pancasila sebagai Ideologi Nasional yang Terbuka di Era Globalisasi. Alhamdulillah, saya bisa mengisi acara tersebut melalui media daring dari Kota Semarang.
Sebenarnya, sejak 1 Juni 1945, Bung Karno sudah mengusulkan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa dipahami oleh berbagai kalangan di Indonesia, sesuai dengan worldview atau pandangan alamnya masing-masing. Yang penting, setiap pendapat dan aspirasi diupayakan perwujudannya dengan mufakat atau permusyawaratan.
Tema ini menjadi penting. Sebab, mungkin ada sebagian kalangan yang merasa paling Pancasila dan merasa benar dengan tafsirnya sendiri. Lalu, dengan mudah menuduh pihak lain yang berbeda pandangan sebagai pihak yang anti-Pancasila. Padahal, semuanya bersepakat untuk bersatu dalam NKRI berdasarkan Pancasila.
Keragaman pemahaman tentang Pancasila itu tidak dapat dihindari. Sebab, berbagai pihak memiliki pandangan alam yang berbeda dengan pihak lainnya. Pihak Islam, sejak awal memandang bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna Tauhid dalam ajaran Islam. Dengan itulah, pihak Islam menerima Pancasila.
Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16-21 Desember 1983 memutuskan, bahwa: Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Pihak Kristen memiliki penafsiran yang berbeda. Tokoh agama Kristen, T.B. Simatupang memahami Pancasila sebagai sesuatu yang khas Indonesia, yang menurutnya bukan khas Barat dan bukan khas Islam. Ia menulis dalam bukunya: “Sila yang pertama bukanlah “Kepercayaan kepada Allah”, tetapi lebih berarti kepercayaan kepada “ide Ketuhanan”, oleh karena kata yang dipakai di sini bukanlah “Allah” tetapi istilah yang lebih netral, “Ketuhanan”. Kepada istilah tersebut ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak berbicara tentang Allah, tetapi tentang keallahan. Ia berbicara tentang keillahian.” (T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).
Sementara itu, Buya Hamka menyatakan: “Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam Preambule UUD’45 itu telah dituliskan dengan jelas: “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.”
Seorang tokoh Komunis Indonesia, Ir. Sakirman, pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dan mengakui, bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/pancasila-sebagai-ideologi-terbuka