Artikel Terbaru ke-2.216
Oleh: Dr. Adian Husaini(www.adianhusaini.id)
Dalam pendidikan, saya menerapkan kebijakan: sebaiknya yang mampu membayar sekolah atau kuliah, bayarlah! Dua anak saya kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir. Saya minta mereka membayar kuliah. Besarnya Rp 7,2 juta per semester. Mahasiswa lain juga membayar sesuai dengan kemampuannya.
Mengapa sebaiknya kuliah itu membayar? Sebab, itu merupakan amal jariyah. Niatkan pembayaran itu sebagai infaq fi-sabilillah. Sekolah, pesantren, kampus, bukanlah lembaga bisnis. Tapi, untuk operasionalnya diperlukan biaya besar. Sebesar apa pun biayanya, tidak akan bisa menandingi manfaat pendidikan, yaitu terbentuknya manusia-manusia yang baik.
Secara nasional, pemerintah telah menerapkan pendidikan gratis melalui program wajib belajar sembilan tahun. Hal ini akan ditingkatkan menjadi wajib belajar 13 tahun. Beberapa daerah sudah menerapkan kebijakan lebih dari itu. Ada yang menggratiskan sekolah dan kuliah. Tentu saja kebijakan itu baik-baik saja. Hanya saja, kebijakan itu belum menyelesaikan masalah pendidikan yang mendasar.
Mengapa? Sebab, akar masalah pendidikan kita masih berkutat pada ”makna pendidikan” dan kualitas guru. Apa itu pendidikan? Pendidikan kita akan terus bermasalah secara mendasar jika pendidikan itu hanya dimaknai sebagai proses pelatihan calon tenaga kerja. Pendidikan tidak dimaknai sebagai proses thalabul ilmi untuk membentuk manusia-manusia yang baik, yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Jadi, tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia-manusia berakhlak mulia. Proses pendidikannya adalah penanaman nilai-nilai akhlak mulia. Didiklah anak-anak menjadi orang jujur, ikhlas, pekerja keras, pemberani, adil, bijak, dan penyayang pada sesama. Proses pendidikan seperti ini memerlukan guru-guru yang baik; guru-guru yang ikhlas dan memiliki jiwa serta kompetensi yang mumpuni sebagai guru pendidik.
Jadi, dimana akar masalah pendidikan kita? Jawabnya: akar masalah pendidikan kita adalah terjadinya ”sekularisasi ilmu pendidikan”. Ilmu pendidikan disekulerkan. Tujuannya dikecilkan hanya untuk meraih kesuksesan di dunia ini. Pendidikan dikecilkan cakupannya menjadi persekolahan. Akhirnya, aktivitas anak-anak di rumah dan masyarakat, tidak dimasukkan ke dalam cakupan pendidikan.
Inilah akar masalah pendidikan kita. ”Epistemologi pendidikan sekular” bertumpu pada akal semata dan menolak ”wahyu” sebagai sumber ilmu. Epistemologi pendidikan semacam ini telah membawa bencana besar bagi umat manusia.
Epistemologi ilmu sekular inilah yang memicu kekacauan besar dalam dunia keilmuan dan kemanusiaan saat ini. Prof. Naquib al-Attas mencatat: “I venture to maintain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge , indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western civilization.”
Lanjut baca,