Artikel ke-1.345
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam Kitab as-Siyasah Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengutip hadits Rasulullah SAW yang memperingatkan kaum Muslimin agar berhati-hati dalam memilih pemimpin: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).
Allah memberikan petunjuk tentang negeri yang maju dan penuh beerkah: “Andaikan penduduk suatu negeri mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96).
Al-Quran Surat al-A’raf ayat 96 tersebut dengan sangat gamblang memberi kabar gembira, bahwa jika suatu bangsa mau mendapatkan kucuran rahmat dan dijauhkan dari berbagai musibah, maka iman dan taqwa harus dijadikan sebagai nilai tertinggi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Tentu saja, itu termasuk dalam penentuan pemimpin, baik pada tataran keluarga, kelompok, atau pun pada tataran kenegaraan.
Pemimpin yang beriman dan bartaqwa pasti bekerja sekuat tenaga menjalankan amanah yang diembannya; mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongannya; bekerja keras untuk menjaga dan membina iman dan taqwa bangsanya; bukan sekedar berkutat pada urusan dunia semata; bekerja keras mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya; takut azab Allah di dunia dan akhirat; takut mengambil hak rakyat; dan menangis jika rakyat susah dan sengsara.
Pemimpin taqwa dan cinta al-Quran, tidak mau munafik; malu kepada Allah, jika peduli rakyat demi pujian manusia; bukan karena cinta dan takut pada Allah SWT. Pemimpin taqwa takkan tinggalkan shalat demi kampanye dan konser sia-sia. Pemimpin taqwa pun cinta bangsa karena Tuhannya, bukan karena tanah subur semata. Pemimpin taqwa tak hambur uang negara untuk pesta pora tiada guna, karena ia takut siksa neraka.
Bagi muslim, memilih pemimpin merupakan ibadah; dunia akhirat; bukan sekedar itung-itungan rebutan kuasa dunia. Berpolitik adalah bagian dari ibadah dan dakwah, bukan untuk berbangga-bangga akan banyaknya golongan dan himpun harta benda dunia. Karena itu, pemimpin beriman dan bertaqwa mustilah zuhud – tidak gila dunia – dan hidup bersahaja; tidak pamer kemewahan di depan rakyat yang sebagian besarnya masih berkubang dalam belitan kesulitan hidup.
Jadi, kita tidak patut sembarangan tentukan pemimpin. Apalagi pemimpin pada level kenegaraan. Ada tanggung jawab dunia akhirat. Jika memilih pemimpin bukan yang terbaik menurut kriteria Islam, maka bisa dikategorikan telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya; na’udzubillahi min dzalika.
Dalam Islam, pemimpin bukan sekedar mengurus masalah dunia. Ia akan dimintai tanggung jawab di akhirat. Pemimpin bukan sekedar mengurus KTP, pajak, dan administrasi kependudukan. Tapi, pemimpin akan dimintai tanggung jawab apakah ia telah berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan rakyatnya, atau justru ia merusak keimanan rakyatnya.
Lanjut baca,